Sabtu, 30 Mei 2009

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH (Tinjauan Terhadap Perda Pajak dan Perda Retribusi Kabupaten/Kota di Provinsi Riau)

Oleh: M.Musa

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 merupakan landasan dalam pembentukan Perda tentang Pajak dan Perda Retribusi Daerah, baik Perda provinsi maupun kabupaten/kota. Kedua perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pembentukan Perda tentang Pajak dan Retribusi untuk menggunakan ketentuan hukum pidana berupa sanksi pidana selaian sanksi administrasi. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau memformulasikan ketentuan hukum pidana dalam Perda Pajak dan Perda Retribusi dipandang sebagai sarana yang strategis untuk penegakan ketentuan hukum Perda yang dilanggar.
Sehubungan dengan hal yang disebutkan di atas, maka yang dirumuskan sebagai permasalahkan dalam penelitian ini ada dua hal, yaitu pertama; untuk mengetahui tentang kebijakan formulasi hukum pidana dalam Perda Pajak dan Retribusi Kabupaten/Kota di Provinsi Riau saat ini. Kedua; untuk mencari kebijakan formulasi hukum pidana dalam Perda Pajak dan Retribusi Kabupaten/Kota di Provinsi Riau dimasa akan datang.
Metodologi dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada asas-asas hukum pidana tentang kriminalisasi dan penetapan sanksi pidana dari formulasi sanksi Perda, dengan melakukan penelitian terhadap data sekunder berupa Perda Pajak dan Retribusi Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Spesifikasi penelitian bersifat deskriftip analitis kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat digambarkan: Pertama; kebijakan pemerintah daerah menggunakan ketentuan hukum pidana dalam materi hokum Perda Pajak dan Retribusi Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, ternyata formulasi dari system pemidanaan tidak berpola kepada ketentuan/kaedah sistem pemidanaan KUHP secara integral, selain itu Perda juga tidak membuat pedoman/aturan dari ketentuan yang menyimpang dari Buku I KUHP sebagai induk Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dan perundangan-undangan yang bersanksi pidana. Kedua; Kebijakan penggunaan hukum pidana dalam Perda Pajak dan Retribusi Kabupaten/Kota di Provinsi Riau ditemukan banyak tidak secara selektif dan konsisten memisahkan pelanggaran yang berwarna administrasi dengan yang tergolong sebagai tindak pidana. Selain itu ditemukan pula sebagian besar penggunaan sanksi pidana utama berupa pidana denda, yang sebenarnya tidak berorientasi kepada tujuan Perda Pajak dan Retribusi dibuat dalam rangka untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kata kunci: Perda Pajak dan Perda retribusi, formulasi hukum pidana.


Sumber: Abstrak Thesis Penulis pada Universitas Diponegoro tahun 2006
Di bawah bimbingan Prof.Dr.H.Barda Nawawi Arief, S.H

Kamis, 14 Mei 2009

KEBIJAKAN DAN KELEMAHAN FORMULASI SISTEM PEMIDANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI INDONESIA

Oleh : M.Musa


A. PENDAHULUAN

Undang-Undang No.18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang No.34 tahun 2000 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang No.18 tahun 1997 (Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000) merupakan payung dari Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi daerah, baik pajak dan retribusi daerah untuk provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan dan kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk membuat Perda Pajak dan Perda Retribusi, sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah daerah.
Untuk menggali potensi pendapatan asli daerah, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 antara lain menyatakan bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan salah satu sarana untuk membiayai pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dihadapan Rapat Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Daerah (DPD), menyebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan pajak yang kewenangannya diserahkan kepada daerah masih sangat terbatas, selain itu masih terdapat beberapa Pemda menerbitkan berbagai Perda yang tidak sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. berbagai jenis pungutan dan retribusi yang memberatkan masyarakat dan pelaku usaha, yang akhirnya menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan mengurangi daya saing daerah.
Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai perobahan dari Undang-Undang No.18 tahun 1997 dibuat adalah untuk memberikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan Peraturan daerah (Perda) untuk pemungutan pajak dan retribusi. Undang-undang ini selain mengantur batas-batas dan jenis perpajakan daerah provinsi, kabupaten/kota, maka untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran Perda ditentukan pula dalam Undang-undang tersebut penggunaan ketentuan sanksi pidana disamping sanksi administrasi.
Pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dapat dikenakan sanksi adminstrasi berupa bunga sebagaimanan ditentukan Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.34 tahun 2000, sedangkan terhadap wajib retribusi yang tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar dikenakan sanksi administrasi sebagaimana ditentukan Pasal 27 Undang-Undang tersebut.
Selain ketentuan sanksi administrasi , untuk penegakan hukum dari ketentuan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 Tahun 2000, pembentuk undang-undang juga memformulasikan ketentuan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan wajib pajak dan wajib retribusi. Ketentuan sanksi pidana terhadap pelangaran undang-undang tersebut dirumuskan dalam tiga pasal, yaitu ketentuan sanksi pidana yang diatur Pasal 37 ditujukan kepada wajib pajak, Pasal 39 memuat sanksi pidana yang ditujukan terhadap pelanggaran yang dilakukan wajib retribusi, sedangkan Pasal 40 merupakan ketentuan yang ditujuakn kepada pejabat yang tidak menjaga kerahasiaan data yang diberikan wajib pajak.
Berdasarkan penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 Tahun 2000, bahwa “dengan adanya sanksi pidana diharapkan timbul kesadaran wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya”. Dengan demikian berarti tujuan dari pembentuk undang-undangn mengadakan sanksi pidana dalam undang-undang, adalah untuk dapat dipatuhi atau tegaknya ketentuan perundang-undangan perpajakan daerah yang dijabarkan pada Perda oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 Tahun 2000 menentukan sanksi pidana secara indefinit berupa penjara yang dialternatifkan dengan pidana denda, terhadap pelanggaran yang dilakukan subjek pajak dan retribusi . Formuasi ini merupakan suatu hal yang wajar jika ditilik dari sisi fungsinya sebagai alat untuk penegakan hukum ketentuan Perda Pajak atau Retribusi Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan diformulasikannya sanksi pidana tersebut akan dapat digunakan sebagai sarana dalam menyelesaikan pelanggaran Perda pajak dan retribusi, jika penyelesaian administrasi tidak mampu lagi digunakan untuk penegakan ketentuan hukumnya oleh pemerintah daerah.
Terhadap ketentuan hukum admnistrasi yang menggunakan sanksi pidana ini, Barda Nawawi Arief pernah mengatakan bahwa:
“ Karena hukum administrasi pada dasarnya “hukum mengatur atau hukum pengatur (“regulatory rules”), yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan (“regulatory powers”), maka “hukum pidana admnistrasi” sering disebut pula “hukum pidana pengaturan” atau “hukum pidana dari aturan-aturan” (Ordenungstrafrecht/Ordeningstrafrecht”).

Berkaiatan dengan itu maka dapat dikatakan pula hukum pidana administrasi adalah merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum administrasi. Dalam hal ini Barda Nawawi Arief menyebutnya sebagai suatu bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentalisasi hukum pidana dibidang hukum administrasi.
Ketentuan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No. 34 tahun 2000 selain memberikan pedoman untuk menggunakan instrument hukum pidana dalam penegakan hukum Perda Pajak dan Retribusi, undang-undang ini juga menentukan pula tatacara proses penegakan hukumnya oleh aparat penegak hukum terhadap pelanggaran Perda Pajak dan Retribusi.
Dari ketentuan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yang memberikan pedoman dalam memformulasikan ketentuan hukum pidana pada Perda Pajak dan Retribusi, ada beberapa prinsip yang dapat ditinjau dari sisi sistem pemidanaan pada hokum pidana substantif.

B. PEMBATASAN MASALAH

Ditinjau dari Ketentuan system pemidanaan pada Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000 dalam penegakan ketentuan Pajak dan Retribusi terdapat dua dua jenis system pemidanaan, yaitu ketentuan system pemidanaan hokum pidana substantive dan ketentuan system pemidanan hokum pidana ajektif. Dalam ketentuan hokum pidana substantive pada undang-undang ini, terdapat dua ketentuan jenis sanksi yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Tulisan ini membatsi permasalahan yang ditelaah hanyalah dalam lingkup hokum pidana substantive, yaitu tentang kebijakan formulasi sanksi pidana yang ditentukan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000 untuk dapat digunakan dalam ketentuan Perda Pajak dan Retribusi.

C. KEBIJAKAN DAN KELEMAHAN FORMULASI SISTEM PEMIDANAAN

1. Kebijakan formulasi sanksi pidana dalam Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 Tahun 2000.

L.H.C.Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Sehubungan dengan itu, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan itu mencakup pengertian:
1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan;
2. Keseluruan sistem (aturan perundang-undangan) untuk penjatuhan dan pelaksanaan pidana;
3. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
4. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).


Dari pengertian tersebut di atas, mempunyai arti bahwa semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana adalah merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.
Bertolak dari pandangan L.H.C.Hulsman dan Barda Nawawi Arief di atas, maka untuk mengetahui kebijakan formulasi sanksi pidana dalam undang-undang pajak dan retribusi daerah dapat ditilik dari sistem pemidanaan pada KUHP, dimana KUHP sebagai induk hukum pidana substantif Indonesia merupakan pedoman dalam pembentukan perundang-undangan hukum pidana dan perundang-undangan yang bersanksi pidana. KUHP sebagai induk hukum pidana Indonesia saat ini adalah berasal dari WvS voor Nederlandsch-Indie (S.1915 No.732) yang dinyatakan berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang terdiri dari tiga buku, Buku I merupakan Aturan Umum, Buku II mengatur tentang Kejahatan, dan Buku III merupakan bab terakhir mengatur tentang Pelanggaran.
Sebagaimanan dimaklumi, bahwa sistem pemidanaan umum dalam KUHP mengandung ciri-ciri hanya mengenal “orang” sebagai pelaku/subjek tindak pidana, dengan berorientasi pada sistem pidana minimal umum, maksimal umum dan maksimal khusus, serta adanya pembedaan dengan tegas tentang kualifikasi tindak pidana yaitu berupa “kejahatan” dan “pelanggaran”. Namun dalam perkembangan undang-undang di luar KUHP telah mengalami kemajuan dalam menjawab kebutuhan aturan hokum yang tidak ada diatur dalam KUHP, perkembangan aturan hokum pidana itu sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan aturan hokum yang ada pada KUHP. Ketentuan yang menyimpang dari KUHP tersebut sebagai suatu ketentuan baru tidak merupakan masalah secara yuridis, karena memang dimungkinkan/diharuskan atau dibenarkan menurut ketentuan Pasal 103 dalam aturan umum pada Bab VIII KUHP . Namun perkembangan system pemidanaan dari undang-undang di luar KUHP akan menimbulkan permasalahan yuridis dilihat dari sudut sistem pemidanaan, jika tidak konsisten berpedoman dari ketentuan Pasal 103 KUHP yang mengandung asas lex spesialis de rogat legi generalis. Ketentuan Bab I hingga Bab VIII pada Buku I KUHP, pada prinsipnya berlaku juga terhadap ketentuan perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP, kecuali jika memang dinyatakan dengan tegas pada undang-undang tersebut system pidananya penyimpangi prinsip-prinsip ketentuan system pemidanaan yang ada pada KUHP.
Ketentuan system pemidanaan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak dan Retribusi tersebut di atas pada dasarnya tidak dapat terlepas dari ketentuan sistem pemidanaan dalam Pasal 103 KUHP. Maka konsekuensinya sistem pemidanaan undang-undang pajak dan retribusi daerah juga harus terintegrasi dalam aturan umum (general rules), jika tidak membuat aturan khusus (special rules) yang menyimpang atau berbeda dengan aturan umum.
Ketentuan sanksi pidana pada Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000 yang masing-masing merumuskan sanksi pidana terhadap wajib pajak, wajib retribusi, dan kepada pejabat yang berhubungan dengan pekerjaannya tidak merahasiakan segala sesuatu yang merugikan wajib pajak.
Secara lengkap formulasi ketentun sanksi pidana tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menentukan :
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang;
(2) Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang.

Selanjutnya Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menentukan:
“Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 4 kali jumlah retribusi yang terutang.”
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menentukan :
(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakanhal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00;
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurngan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp.5.000.000,00;
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar;
(4) Besarnya denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditinjau kembali dengan Peraturan Pemerintah.

Subjek dari tindak pidana dalam ketentuan Pasal 37 dan Pasal 39 tersebut adalah sebagai mana yang ditentukan dalam Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, yaitu orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah. Subjek pajak sekaligus juga merupakan wajib pajak sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf i, yaitu:
“Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungutan atau pemotongan pajak tertentu.”
Sedangkan pengertian tentang wajib retribusi dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 huruf ee yaitu orang pribadi atau badan yang menurut perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungutan atau pemotongan retribusi tertentu.
Badan dalam pengertian wajib pajak dan retribusi yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut ternyata cukup luas pengertiannya selain meliputi badan hukum (korporasi) termasuk pula bentuk organiasi-organisasi atau bentuk badan lainnya. Secara lengkap dalam ketentuan Pasal 1 huruf g menentukan, yaitu:
“ Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.”

Dari ketetuan Pasal 1 huruf g tersebut terlihat dalam undang-undang ini telah memperluas pengertian subjek hukum dari ketentuan KUHP yang hanya berorientasi kepada orang dan tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum ataupun bentuk kumpulan lainnya.
Retribusi dalam ketentuan Pasal 1 huruf z Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 merupakan pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berbeda dengan pengaturan tentang pajak daerah yang merumuskan juga tentang pengertian subjek pajak, dalam undang-undang ini tidak merumuskan pengertian subjek retribusi. Dari ketentuan tersebut terlihat subjek dari retribusi sama dengan subjek pajak, selain orang juga mengenal badan hukum atau organisasi lainnya. Tetapi dalam kebijakan sistem pemidanaan dan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 terdapat perbedaan. Ketentuan Pasal 37 ayat (1) menentukan karena kealpaan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPPD) yang sifatnya merugikan keuangan daerah, dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak.
Terlihat jenis pidana/ sanksi yang diancamkan dalam perumusan delik Pasal 37 ayat (1) undang-undang ini hanya menggunakan pidana pokok berupa kurungan dan denda yang dirumuskan secara kumulatif-alternative. Tetapi jika dilakukan dengan sengaja, Pasal 37 ayat (2) merumuskan pidana pokoknya berupa kurungan dialternatifkan dengan denda, yaitu dipenjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang. Wajib pajak yang menyampaikan, mengisi dengan tidak benar, atau melampirkan keterangan yang tidak benar SPPD karena kealpaan yang sanksi pidananya dirumuskan secara kumulatif-alternatif terseksan lebih memperluas hakim untuk menetukan pilihan dalam menjatuhkan jenis sanksi dibandingkan jika perbuatan dilakukan dengan sengaja yang sanksinya dirumuskan secara alternative. Tujuan diadakannya sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ini, dalam Penjelasan Pasal 37 disebutkan yaitu diharapkan agar timbulnya kesadaran wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya. Sementara itu ketentuan Pasal 39 menentukan terhadap wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sehingga merugikan keuangan daerah, ancaman sanksi pidananya dirumuskan secara alternative. Namun ketentuan sanksi pidana dalam Pasal 39 ini yang diformulasikan oleh pembentuk undang-undang, tujuannya hanya digunakan untuk menakut-nakuti. Kehendak pembentuk undang-undang dalam tahap aplikasi ketentuan ini harus diterapkan secara selektif dan limitatif, sebagaimana digariskan dalam penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tersebut, yaitu:
“Pengajuan tuntutan ke pengadilan pidana terhadap wajib retribusi dilakukan dengan penuh kearifan serta memperhatikan kemampuan wajib retribusi dan besarnya retribusi yang terutang yang mengakibatkan kerugian daerah.
Namun sayangnya komitmen dari pembentuk undang-undang untuk mengembalikan kerugian keuangan daerah atas tindak pidana dalam perpajakan ini tidak konsisten, sebab dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menegaskan bahwa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan Negara.
Sedangkan pasal 40 mengatur tindak pidana dari pejabat pajak yang tidak merahasiakan segala yang diberitahukan oleh wajib pajak. Tujuan diadakannya ketentuan Pasal 40 ini dijelaskan dalam penjalasan Pasal 40 ayat (1) adalah untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain juga agar wajib pajak dalam memberikan data dan keterangan kepada Pejabat mengenai perpajakan daerah tidak ragu-ragu. Tindak pidana dalam pasal ini oleh pembentuk undang-undang menentukan sebagai delik aduan, alasan dikualifikasikan sifatnya sebagai delik aduan oleh pembentuk undang-undang dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (3) bahwa karena sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku wajib pajak atau wajib retribusi, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Ketentuan Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 tidak menetukan secara tegas kualifikasi tindak pidana terhadap perbuatan wajib pajak ataupun wajib retribusi dan pejabat perpajakan yang melanggar ketentuan yang diatur pasal-pasal tersebut, dan ketentuan pertanggungjawaban pidananya tetap menggunakan single track system, tidak seperti hukum pidana administrasi lainnya yang kebanyakan menganut double track system. Perumusan sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 37, 39, dan 40 menggunakan sistem minimal umum dan maksimal khusus.

2. Kelemahan/kekurangan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ditinjau dari sistem pemidanaan KUHP.
Sebagaimana dikatak di atas bahwa kedudukan hukum pidana dalam undang-undang perpajakan daerah, tidak dapat dipisahkan dari sistem pemidanaan hukum pidana substatif yang berlaku, karena hukum pidana yang terdapat di luar Buku I KUHP, baik yang ada pada Buku II dan Buku III KUHP maupun undang-undang khusus diluar KUHP merupakan sub-sistem dari kesatuan sistem dari hukum pidana substantif yang berinduk pada Buku I KUHP.
Barda Nawawi Arief pernah mengatakan bahwa:
“Keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun di dalam UU khusus di luar KUHP, pada hakikat-nya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP.”

Dengan demikian maka Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undnag-Undang No.34 tahun 2000 yang menggunakan ketentuan hukum pidana dalam penegakan hukumnya, tidak terlepas dari sistem pemidanaan dalam KUHP tersebut.
Barda Nawawi Arief dalam suatu kesempatan lain pernah mengatakan:
Terdapat perkembangan/perubahan sistem hukum pidana/pemidanaan dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP tentang:
a. Jenis sanksi pidana/tindakan; lamanya; dan perumusannya;
b. Aturan dan pelaksanaan pidana;
c. Subjek tindak pidana; dan
d. Kualifikasi tindak pidana; yang menyimpang dari KUHP dan dirumuskan secara tidak konsisten.

Keterkaiatan kedua undang-undang itu terhadap Buku I KUHP sebagai kesatuan sistem pemidanaan, maka kedua Undang-Undang Pajak dan Retribusi tersebut memiliki beberapa kelemahan/kekurangan ditilik dari system pemidanaan pada hokum pidana substantive. Beberapa kelemahan tersebut ditemukan dalam penentuan:
a. Kelemahan dalam merumuskan kualifikasi tindak pidana.
Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No. Tahun 2000, merupakan pasal-pasal yang berhubungan dengan ketentuan sistem pemidanaan, terutama Pasal 37, 39, dan Pasal 40 merupakan ketentuan perumusan tindak pidana dan sanksi pidana. Dari tindak pidana yang dirumuskan pada pasal-pasal undang-undang tersebut tidak ada ketegasan kualifikasi delik/tindak pidana, tetapi karena bobot sanksi pidananya penjara/kurungannya tidak besar, berdasarkan peranggapan seolah-olah jenis kualifikasi tindak pidananya tergolong pelanggaran. Tetapi jika dilihat ketentuan sanksi pidana Pasal 37 ayat (1 dan 2) bobot sanksi pidana badan berupa penjara 2 tahun jika tindak pidana terbukti dilakukan dengan sengaja. Dengan tidak dicantumkannya kualifikasi tindak pidana secara tegas dalam suatu perundang-undangan akan membawa konsekuensi yuridis dalam sistem pemidanaan, karena berkaiatan dengan penentuan pertanggungjawaban terhadap straf modus dan sanksinya.
Walaupun pada undang-undang induk dari Perda Pajak dan Retribusi Daerah ini tidak menegaskan kualifikasi delik pada system pemidanaannya, tetapi implementasi penentuan kualifikasi delik pada pembentukan Perda Pajak dan Retribusi Daerah selalu menegaskan sebagai pelanggaran.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa penyebutan kualifikasi delik (sebagai kejahatan atau pelanggaran), bukan sekedar memberi nama melainkan merupakan penetapan kualifikasi yuridis yang mempunyai konsekuensi yuridis materiel maupun konsekuensi yuridis formil. Konsekuensai yuridis baik dari aspek yuridis materiel seperti dalam hal percobaan, penyertaan, pembantuan,dan lainnya sebagaimana terdapat dalam ketentuan Buku I Bab I - VIII KUHP, maupun dari aspek yuridis formal dalam hal proses peradilannya.
b. Kelemahan dalam merumuskan subjek tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-undang No. 34 Tahun 2000 menentukan subjek pajak dan retribusi daerah seperti yang tercantum dalam Pasal 1 huruf (h) adalah orang pribadi dan badan sebagai mana dimaksud Pasal 1 huruf (g), yaitu sekumpulan orang dan/atau modal yang melakukan usaha atau tidak melakukan usaha meliputi, PT, Perseroan Komanditer, BUMN, BUMD dan korporasi lainnya. Ketentuan itu dijadikan patokan sebagai wajib pajak sebagaimana ditentukan Pasal 1 huruf i dan huruf (ee) wajib pajak dan wajib retribusi daerah tersebut adalah orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf g.
Formulasi hukum pidana dalam Pasal 37, 39, dan 40 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ini, tidak ada menentukan bagaimana aturan pelaksaannya tentang siapa yang dapat dituntut dan kapan atau dalam hal bagaimana korporasi dan badan usaha lainnya dikatakan telah melakukan tindak pidana, dalam rangka untuk dapat menerapan ketentuan sanksi pidana terhadap wajib pajak dan retribusi daerah berupa korporasi atau badan usaha lainnya tersebut. Jika pembentuk undang-undang berpandangan aturan pelaksanaanya mengacu kepada ketentuan Pasal 59 KUHP, maka korporasi tidak mungkin dapat dituntut karena pertangungjawaban kesalahan tersebut ada kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu sendiri.
c. Kelemahan dalam perumusan sanksi pidana
Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 hanya mencantumkan pidana pokok berupa penjara/kurungan dan denda yang dirumuskan secara kumulatif-alternatif seperti ditentukan Pasal 37 ayat (1), dan ada pula yang dirumuskan secara alternative seperti dalam Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 40. Karena undang-undang ini termasuk dalam lingkup hukum adminstrasi seyogyanya juga mengintegrasikan sanksi administrasi kedalam sanksi pidana, karena sangat penting untuk diterapkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana perpajakan daerah. Pembuat undang-undang tetap memisahkan sanksi administrative dengan sanksi pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, sebenarnya sanksi administrative itu bisa saja dioperasionalkan/difungsikan melalui hukum pidana, sehingga dikenal istilah hukum pidana administrative, yaitu hukum pidana di bidang pelanggaran-peanggaran hukum administrasi. Kelemahan lainnya dalam ketentuan undang-undang ini, karena juga tidak mengatur bagaimana jika sanksi pidana denda yang tidak diindahkan oleh korporasi akan menemui kesulitan untuk penerapan hukumnya. Jika pembentuk undang-undang beranggapan dapat digunakan ketentuan Pasal 39 KUHP terhadap denda yang tidak dibayar korporasi adalah merupakan hal yang tidak mungkin, karena ketentuan Pasal 39 KUHP yang mengatur tentang dapat dikenakan pidana kurungan pengganti 6 bulan atau maksimal 8 bulan hanya ditujukan kepada orang sebagai subjek tindak pidana dan tidak mungkin dapat diterapkan kepada korporasi dan badan usaha lainnya sebagai subjek hokum.
Di sisi lain Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000, penentuan sanksi pidana dalam Pasal 37, 39, terdapat disparitas yang jauh antara perumusan bobot sanksi pidana penjara/kurungan dengan denda yang dirumuskan secara alternative, hal ini terlihat dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2), yaitu karena kealpaan tidak menyampaikan SPPD dipidana kurungan maksimal 1 tahun bobotnya disetarakan dengan pidana denda maksimal 2 kali jumlah pajak terutang. Jika karena kesengajaan tidak menyampaikan SPPD dipidana penjara maksimal 2 tahun yang bobotnya disetarakan dengan denda 4 kali pajak terutang. Disparitas kebijakan perumusan sanksi pidana terhadap tindak pidana tentang Pajak yang diatur Pasal 37 dengan tindak pidana Retribusi yang diatur Pasal 39 terlihat sangat tidak relevan. Pasal 39 menentukan jika tidak membayar retribusi dapat dipidana kurungan maksimal 6 bulan disetarakan secara alternative bobotnya dengan denda maksimal 4 kali jumlah retribusi terutang, jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan (2). Kesenjangan kebijakan formulasi sanksi yang demikian sangat tidak proporsional dan dapat menimbulkan ketidak adilan untuk diaplikasikan.

ANALISIS YURIDIS FORMULASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Oleh : M.Musa

A. Pendahuluan
Dewasa ini para ahli kriminologi perhatiannya tidak hanya dicurahkan kepada para penjahat, tetapi mulai memperhatikan pula orang-orang lain selain penjahat, khususnya para korban kejahatan, ialah orang-orang yang dirugikan oleh suatu tindak pidana. Peranan korban dalam sistem perasilan pidana (“cirimial justice system”) sangat menentukan dalam hal pembuktian, mengingat korban seringkali memiliki kualitas sebagai saksi (saksi korban) di samping saksi-saksi yang lain sebagai alat bukti yang sah dalam pemeriksaan perkara pidana.
Perlunya pengaturan dan perlindungan hukum bagi saksi korban dapat dibenarkan secara sosiologis bahwa dalam kehidupan bermasyarakat semua warga negara harus berpartisipasi penuh, sebab masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang melembaga (“system of institutionalized trust”). Tanpa kepercayaan itu maka kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur organisasional seperti Polisi, Jaksa, Pengadilan dan sebagainya. Bagi korban kejahatan, dengan terjadinya kejahatan terhadap dirinya akan menghancurkan kepercayaan tersebut dan pengaturan hukum pidana dan lain-lain berfungsi untuk mengembalikan kepercayaan tersebut (Muladi, 1995 : 66).
Berkaitan dengan masalah korban ini, Sudarto, pernah mengemukakan bahwa “Kedudukan si korban hanya sebagai suatu unsur saja dari ketertiban hukum. Maka suatu tindak pidana bukanlah suatu perbuatan yang merugikan orang yang mempunyai darah, daging, dan perasaan akan tetapi sebagai suatu yang melawan hukum, bertentangan dengan sesuatu yang abstrak yang dinamakan ketertiban hukum (“inbreuk op de rechtsorde”). Dengan pertumbuhan yang demikian ini maka orang yang dirugikan tidak mempunyai arti, ia ini diabstrakkan. Dalam proses perkara pidana seolah-olah ia “tidak dimanusiakan”; ia hanya merupakan saksi (biasanya saksi pertama) yang hanya penting untuk memberi keterangan tentang apa yang dilakukan si pembuat guna dijadikan alat bukti tentang kesalahan si pembuat ini. Dalam proses selanjutnya ia tidak diperhitungkan lagi pada pembacaan keputusan tentang pidana yang dijatuhkan-apabila dinyatakan bersalah – ia tidak hadir, karena memang tidak diperlukan kehadirannya (Sudarto, 1986 : 185).
Dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan, secara mendasar dikenal dua model yakni (1) model hak-hak procedural (“The Procedural; Rights Model”); dan (2) model pelayanan (“The Services Model”). Pada model yang pertama penekanan diberikan pada dimungkinkannya si korban untuk memainkan peranan aktif di dalam proses kriminal atau di dalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejabatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar di setiap tingkatan sidang pengadilan dimana kepentingannya terkait di dalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga permasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata. Di Perancis hal ini disebut “partie civile model” (“civil action system”) (Muladi, 1997 : 178). Pendekatan semacam yang diutarakan Muladi tersebut merupakan model pendekatan terhadap korban sebagai seorang subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya. Selanjutnya pada model pelayanan (“Services model”), penekanan diletakan perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh Polisi untuk melindungi kepentingan korban atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya. Pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain.

B. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Hukum Positif Indonesia
Pada Rapat Paripurna DPR tanggal 17 Juli 2006 telah menyetujui RUU Perlindungan Saksi dan Korban ( RUU-PSK) sebagai usul inisiatif DPR. RUU-PSK ini kemudian pada tangal 11 Agustus 2006 telah disahkan oleh Presiden RI menjadi Undang-Undang No.13 Tahun 2006 yang diundangkan dalam Lembaran Negara No.64 Tahun 2006.
Dalam rangka pengaturan dan perlindungan saksi dan korban di Indonesia melalui piranti perundang-undangan yang ada selama ini, terlihat dalam praktek tidak ada jaminan yang pasti terhadap keamanan dan keselamatan saksi dan korban. Sebagai ilustrasi dapat berguru pada kasus Endin misalnya, yang melaporkan adanya “mafia pengadilan” di Mahkamah Agung malah menjadi terdakwa dan selanjutnya menjadi terpidana. Untuk mendapatkan jaminan yang pasti maka memang dirasakan layak disambut baik kelahiran UU No.13 Tahun 2006 yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban sebagai undang-undang tersendiri. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah memberik definisi yuridis dari “Saksi, Korban”, sehingga dapat ditentukan batas-batas pengaturannya. Untuk memudahkan kiranya dapat diambil dari Pasal 1 angka 26 yang menentukan : “Saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu”. Sedangkan untuk korban, Nyoman Serikat Putra pernah mendefenisikannya sebagai “a victim is a person who has sufgfered damage as a result of a crime and or whose sense of justice has been directly disturb by the experience of having been the target of a crime”, artinya korban adalah seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan/atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggung sebagai akibat pengalamannya sebagai sasaran kejahatan (Nyoman Serikat Putra, 2006 : 8 ).
Dalam hukum positif di Indonesia, masalah saksi dan korban sudah mendapat pengaturan meskipun sifatnya sangat sederhana dan parsial. Hal ini dapat dilihat dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Dalam hukum pidana materiil terlihat dalam Pasal 14 huruf c KUHP, dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat, ditentukan adanya syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh terpidana selama dalam masa percobaan. Syarat khusus berupa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari pada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh pembuatnya.
Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Begitu juga Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU NO. 20 Tahun 2001 yang mengancam dengan pidana penjara atau pidana denda bagi yang mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terhadap saksi dalam tindak pidana korupsi dan Pasal 24 memberikan perlindungan atas identitas pelapor.
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 memberikan perlindungan kepada pelapor dan saksi adalah dengan mewajibkan kepada PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim untuk merahasiakan identitas pelapor. Saksi, penuntut umum, hakim dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa di sidang pengadilan di larang menyebut nama dan alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor. Larangan tersebut pada setiap persindangan diingatkan oleh hakim kepada saksi, penuntut umum atau orang lain yang terkait dengan pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, negara wajib memberikan perlindungan khusus dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdatamaupun pidana atas laporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan. Di sini nampak bahwa UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 memberikan dasar hukum, yang menentukan perbuatan pelapor dan/atau saksi yang melaporkan atau memberikan kesaksian tentang adanya tindak pidana pencucian uang bukan merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga terlindungi dari adanya tuntutan perdata maupun tuntutan pidana.
Dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) terdapat beberapa pasal yang mengatur masalah ganti kerugian, yaitu:
1. Pasal 77 huruf b – Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus tentang ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
2. Pasal 95 ayat (1) – Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
3. Pasal 98 ayat (1) – Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim kedua sidang atas permintaan orang lain dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana.

Di samping dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, dalam “Ius Constituendum” (RUU-KUHP Tahun 2005) terdapat pasal yang memuat tentang ganti kerugian, yaitu:
1. Pasal 67 :
(1) Pidana tambahan hak tertentu;
a. Pencabutan hak tertentu
b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan
c. Pengumuman putusan hakim
d. Pembayara ganti kerugian dan
e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
2. Pasal 99 :
(1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.
(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.

C. Analisis formulasi UU Perlindungan Saksi dan Korban
Mar Ancel sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa “modern cirminal science” terdiri dari tiga komponen “Criminology” “Criminal Law”, dan “Penal Policy”. Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan humum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan (Nawawi Arief, 1996 : 23).
Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat (Sudarto, 1981 : 159).
b. Kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan (Sudarto, 1983 : 40).
Dengan dasar pengertian yang demikian itu, selanjutnya Sudarto menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna (Sudarto, 1981 : 161).
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka hukum pidana mengandung makna, bagaimana mempersiapkan, membuat serta merumuskan perundang-undangan pidana yang baik serta dapat dilaksanakan.
Beberapa permasalahan dalam Undang-undang No 13 Tahun 2006 tentang “Perlindungan Saksi dan Korban” yang telah diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 dalam Lembaran Negara No.64 Tahun 2006, ada beberapa hal yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini.
Definisi yuridis mengenai saksi dan korban dalam UU-PSK diatur pada Pasal 1 angka 1 dan angka 2.
- Pasal 1 angka 1 : Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau alami sendiri.
- Pasal 1 angka 2 : Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Batasan pengertian saksi dalam UU No.13 Tahun 2006 ini ternyata secara utuh mengadopsi pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 UU N0.8 Tahun 1981 (KUHAP) yang mencakup dua pengertian, yaitu saksi yang bukan korban dan saksi korban dari tindak pidana guna diminta keterangannya sebagai saksi yang dimaksud Pasal 184 ayat 1 (a) jo Pasal 185 KUHAP. Dengan demikian terjadi kerancuan batasan pengertian Pasal 1 angka 1 dengan angka 2 UU No.13 Tahun 2006 yang berusaha membedakan pengertian saksi dengan korban, karena akibat mengadopsi secara keseluruhan pengertian saksi dari KUHAP. Karena pengertian korban dalam Pasal 1 angka 2 hanya membatasi pengertian kepada orang perorangan, dan tidak ada perluasan pengertian kepada Badan Hukum Publik, sementara salah satu maksud dari lahirnya undang-undang ini adalah untuk menyingkap kesulitan dalam pembuktian terutama pembuktian terhadap kejahatan mala parse non konvensional.
Sasaran perlindungan yang diberikan UU-PSK terhadap Saksi dan Korban dapat diketahui dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6.
- Pasal 5 UU – PSK menentukan :
(1) Seorang saksi dan korban berhak :
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluaga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan.
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan
d. Mendapat penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendapat idnetitas baru
j. Mendapat tempat kediaman baru
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l. Mendapat nasihat hukum dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
- Pasal 6 UU – PSK menentukan :
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan :
a. Bantuan medis dan
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial
UU – PSK ini juga melahirkan lembaga baru sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 yaitu “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. LPSK ini merupakan lembaga yang mandiri dalam arti lembaga yang independent, tanpa campur tangan dari pihak manapun. LPSK ini berkedudukan di ibukota neghara Republik Indonesia dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.
LPSK terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur professional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, departemen hukum dan hak asasi manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipiliha kembali untuk masa jabatan 1 (satu) kali berikutnya.
LPSK melakukan perjanjian perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana, apabila dipenuhi kriteria seperti ditentukan dalam Pasal 28 UU-PSK sebagai berikut :
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban
b. Tingkan ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban
c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Bagi Saksi dan/atau Korban yang menghendaki perlindungan dari LPSK, Saksi dan/atau Korban baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK. Di samping itu, Saksi dan/atau Korban harus menandatangani pernyataan ksediaan mengikuti persyaratan sebagai berikut :
a. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya.
c. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK selama ia berada dalam perlindungan LPSK.
d. Kewajiban Saksi dan Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapaun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK dan
e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
LPSK mempunyai kewajiban memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti persyaratan tersebut dalam Pasal 30. Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat diberhentikan berdasarkan alasan-alasan seperti yang tercantuam dalam Pasal 32 yaitu :
a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan.
c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian, atau
d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus dilakukan secara tertulis.
Dalam ketentuan pasal-pasal dari UU ini tidak terlihat pengaturan tentang fungsi/peran korban tidak ada keistimewaan dalam pembuktian, begitu pula tidak ada perkembangan jaminan perlindungan terhadap akibat kerugian fisik/psikis yang dialami korban.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU – PSK yang memberikan hak kepada korban melalui LPSK untuk mengajukan ke pengadilan berupa : hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, menjadi permasalahan yuridis sistematis yang horizontal, sebab permasalahan mengenai kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat sudah menjadi kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai diatur dalam UU No. 27 Tahun 2004 (UU – KKR). Menurut Psal 7 ayat (1) huruf f Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) berwenang memutuskan pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. Apakah ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya terakhir dalam hal korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak memperoleh kompensasi atau permohonan untuk memperoleh kompensasi tidak dikabulkan oleh KKR. Dalam penjelasan atas pasal demi pasal UU – PSK tidak terdapat penjelasan dan hanya tertulis “Cukup jelas”. Hal ini dikemukakan karena menimbulkan persoalan tentang kewenangan antara KKR dan LPSK dalam masalah “kompendasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat”.
UU Perlindungan Saksi dan Korban ini nampaknya tidak bisa melepaskan diri dari sanksi pidana guna mempertahankan norma-normanya. Hal ini dengan adanya Bab tentang “Ketentuan pidana” seperti tercantum dalam Bab V yang terdiri dari 7 pasal, menentukan system pemidanaannya yang dicantumkan mulai dari Pasal 37 sampai dengan Pasal 43.
- Pasal 37 ayat (1) UU – PSK
Subjeknya : Setiap orang
Perbuatan yang dilarang : - memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a (memperoleh pelindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya) atau huruf d (mendapat penerjemah) sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun.
Ancaman pidana berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak dua ratus juta rupiah.
Pemberatan pidana ditentukan dalam ayat (2) – jika menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban ancaman pidana berupa pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikti 80 juta rupiah dan paling banyak 500 juta rupiah.
Pada ayat (3) – jika mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, ancaman pidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit 80 juta rupiah dan paling banyak 500 juta rupiah.
Khusus untuk ancaman pidana penjara pada ayat (3) yang menentukan paling singkat 5 tahun dan paling lama seumur hidup – menurut hemat kami agak ganjil – biasanya alternatif dari seumur hidup adalah paling lama 20 tahun – semestinya perumusannya pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun atau pidana penjara seumur hidup.
Dalam ketentuan asas umum sanksi pidana penjara (badan) dalam hukum pidana substatif Indonesia hanya mengenal sanksi pidana penjara sementara minimum umum 1 hari dan maksimum umum 20 tahun, sedangkan sanksi pidana penjara seumur hidup merupakan pidana badan yang sifatnya tidak sementara waktu stratanya adalah pasangan formulasi alternative dari pidana mati.
- Pasal 38 UU –PSK
Subjeknya : setiap orang
Perbuatan yang dilarang : - menghalang-halangi dengan cara apapun Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1).
Ancaman pidana berupa pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit 80 juta rupiah dan paling banyak 500 juta rupiah.
- Pasal 39 UU –PSK
Subjeknya : Setiap orang
Perbuatan yang dilarang : -- menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses pengadilan.
Ancaman pidananya berupa pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit 80 juta rupiah dan paling banyak 500 juta rupiah.
- Pasal 40 UU – PSK
Subjeknya : Setiap orang
Perbuatan yang dilarang –menyebabkan dirugikan atau dikuranginya hak-hak sosial Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan.
Ancaman pidananya berupa pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit 30 juta rupiah dan paling banyak 100 juta rupiah.
- Pasal 41 UU – PSK
Subjeknya : Setiap orang
Perbuatan yang dilarang – memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j (mendapatkan tempat kediaman baru).
Ancaman pidananya berupa pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit 80 juta rupiah dan paling banyak 500 juta rupiah.
- Pasal 42 UU –PSK
Subjeknya : Pejabat publik
Perbuatan yang dilarang – melakukan perbuatan dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, dan Pasal 41.
Ancaman pidananya masing-masing ancaman pidana dalam pasal yang bersangkutan ditambah 1/3.
- Pasal 43 UU – LPSK
Mengatur tentang pidana pengganti denda yang tidak mampu dibayar oleh terpidana yaitu berupa pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun. Pidana penjara pengganti denda ini harus dicantumkan dalam amar putusan hakim.
Sangat disayangkan pada ketentuan pidana tidak terdapat pasal-pasal yang memuat “kualifikasi” tindak pidana dalam Bab V ini, apakah sebagai kejahatan atau pelanggaran. Hal ini membawa konsekuensi yuridis dalam hal percobaan, pembantuan, mengingat hal ini diatur dalam KUHP Buku I. Begitu juga mengenai “recidive” atau “pengulangan” tindak pidana, tidak diatur yang berarti secadar normatif tidak mungkin ada recidive karena dalam KUHP masalah recidive ini diatur tersebar dalam pasal-pasal buku II dan buku III.
Demikian beberapa analisis formulasi yuridis terhadap Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Tulisan ini ada dalam jurnal mahkamah Fak.Hukum UIR

Senin, 11 Mei 2009

Sistem Peradilan Restoratif Sebagai Alternatif Peradilan Anak Indonesia

A. Pendahuluan.
Bermula dari kasus Raju yang dilansir oleh media cetak maupun media elektronik, telah menimbulkan berbagai tanggapan terhadap UU No.3 Tahun 1997 yang bermunculan dari para pemerhati anak di negeri ini. Aparat penegak hukum sudah melakukan tugasnya dengan baik, tetapi justru menimbulkan masalah lain. Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus Raju dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen UU Pengadilan Anak. Phenomenon berbagai kelemahan formulasi corak atau model sisystem peradilan anak dalam UU No.3 Tahun 1997 kembali dipertaruhkan, padahal UU ini dianggap formulator sebagai model peradilan anak yang lebih baik dari KUHP yang berkaiatan dengan masalah pengaturan tentang tindak pidana dan, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya, sedangkan KUHAP yang menyangkut masalah hukum proses terutama Pasal 50 s/d 68 selain Pasal 64 KUHAP.
Berangkat dari suara-suara ketidakpuasan system peradilan anak di Indonesia yang ada pada ketentuan UU No.3 Tahun 1997 tersebut, tentu saja tidak luput dari mempermasalahkan penanggulangan kenakalan anak melalui jalur penal yang diwujudkan dalam system peradilan pidana anak (juvenile justice system).

B. Substansi formulatif keberadaan UU Pengadilan Anak
Untuk mengetahui peta permasalahan tentang kenakalan anak sebagai kajian, dimana kenakalan anak dalam masyarakat disebabkan ditemukan prilaku anak yang bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat disamping norma hukum. Fenomena prilaku anak yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat itu perlu difahami dalam rangka untuk penanggulangannya. Reaksi masyarakat untuk menanggulangi prilaku yang bertentangan dengan norma itu dalam hukum pidana dan kriminologi disebut dengan kebijakan kriminal. Dalam hal kebijakan criminal tersebut, Sudarto mendefinisikan dengan menyitir pendapat Marc Ancel dan G.P.Hoefnagels bahwa kebijakan criminal itu merupakan suatu usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang meliputi seluruh azas dan metode yang mendasari reaksi terhadap pelanggaran hukum pidana, keseluruhan fungsi aparat penegak hukum dan kebijakan undang-undang dan badan-badan resmi untuk menegakkan norma masyarakat. Upaya penanggulangan kenakalan anak melalui jalur penal lebih bersifat represif, berbeda dengan upaya jalur non penal yang aksentisasinya yang bersifat preventif. Namun menurut Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Paulus Hadisuprapto meragakan tentang lingkup kajian penanggulangan kenakalan anak sebagai berikut:


Pengkajian terhadap kenakalan anak yang menyangkut tentang anak nakal dalam kebijakan penal, sebagaimana ragaan dari Paulus Hadisuprapto tersebut, baik dari kalangan legislative, eksekutif maupun yudikatif lebih memfokuskan kepada sarana penal yaitu ius constitutum dan ius operatum belaka dan mengabaikan kebijakan non penal. Sehubungan dengan kebijakan penal dalam ius constitutum dan ius operatum untuk penanggulangan anak nakal di Indonesia, ternyata masih menimbulkan permasalah dalam perlindungan terhadap anak.
Telaah terhadap hukum positif yang terkait dengan anak nakal adalah meliputi pengaturan yang tersebar dalam undang-undang pidana yang mengatur masalah anak, yaitu Pasal 45, 46, dan 47 KUHP, Pasal 50 s/d 68 KUHAP selaian Pasal 64 KUHAP. UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No.4tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Keppres No.36 tahun 1990 tentang pengesahan Konvensii Hak-Hak Anak, dan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ,khususnya Pasal 16,17, 59, 64
Anak baik secara fisik maupun mental membutuhkan perlindungan serta perawatan khusus , termasuk perlindungan hokum sebelum maupun sesudah mereka dilahirkan. Perlindungan terhadap anak ini telah menjadi kesepakatan internasional sebagaimana diamanatkan dalam deklarasi Jenewa tentang Hak Anak-anak tahun 1924, yang selanjutnya telah mendapat pengakuan dalam Deklarasi Sedunia tentang Hak Asasi Manusia serta ketentuan hokum yang dibuat oleh badan-badan khusus dan organisasi-organisasi Internasional yang memberi perhatian bagi kesejahteraan anak-anak.
Jauh hari Majelis Umum PBB memaklumkan Deklarasi Hak Anak-Anak dengan maksud agar anak-anak dapat menjalani masa kecil yang membahagiakan, berhak menikmati hak-hak dan kebebasan baik kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat. Majlis Umum PPB menghimbau agar pemerintah negra-negara untuk mengakui mengakui dan memperjuangkan pelaksanaan hak-hak anak melaui undang-undang maupun peraturan lainnya yang sesuai dengan asas-asas perlindungan terhadap hak-hak anak.
UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dibuat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan perlindungan khusus kepentingan hukum anak yang terlibat tindak pidana, yang sebelumnya dalam perundang-undangan yang ada dirasa tidak banyak memberikan perlindungan terhadap anak baik secara fisik maupun mental. Setelah diundangkannya UU No.3/1997 diharapkan aparat penegak hukum mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan diperadilan, dapat memperlakukan anak secara khusus dengan dibekali pengetahuan khusus untuk menangani tindak pidana yang dilakukan anak.
Jika ditelaah secara konprehensif ketentuan hukum substantive dan hukum ajektif yang diformulasikan dalam UU No.3/1997, dapatlah dikatakan belum ada pengaturan secara utuh pengaturan hukum pidana anak. System hukum dari undang-undang ini masih belum terlepas secara menyeluruh dari KUHP dan KUHAP sebagai lex specialis, karena asas-asas dan ajaran-ajaran dari ketentuan hukum pidana yang terkandung dalam KUHP dan KUHAP tetap diberlakukan dalam ketentuan UU No.3/1997.
Ketentuan hukum substantive UU No.3/1997 masih terikat pada KUHP walaupun telah ada ketentuan tersendiri mengenai straf soot dan straf maat serta straf modus system pemidanaan yang berbeda dari KUHP, karena Pasal 45, 46,dan 47 KUHP secara expresis verbis dinyatakan tidak berlaku lagi oleh ketentuan Pasal 67 UU No.3 tahun 1997.
Karena UU No. 3/1997 hanya menyatakan, bahwa Pasal 45 s/d 47 KUHP saja yang “dinyatakan tidak berlaku”. Ini berarti, secara juridis pasal-pasal lain di dalam KUHP tetap berlaku, antara lain ketentuan tentang “pidana” (Psl. 10 s/d 43), termasuk di dalam-nya tentang “strafmodus” (seperti “pidana bersyarat” dan pelepasan bersyarat”), ketentuan tentang “percobaan” (Psl. 53 dan 54), tentang “penyertaan” (Psl. 55-56 dst.), tentang “concursus”, “alasan penghapus pidana”, “alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana” dsb. Bahkan aturan khusus di dalam Buku II dan III KUHP juga masih berlaku untuk anak, ter-masuk di dalamnya ketentuan tentang “pengulangan” (recidive).
Sebagian besar ketentuan KUHP tetap berlaku, karena ketentuan-ketentuan itu memang tidak diatur di dalam UU No. 3/1997 dan juga tidak ada ketentuan di dalam “Ketentuan Peralihan” (Bab VII) maupun dalam “Ketentuan Penutup” (Bab VIII) UU No. 3/1997 yang menyatakan secara umum, bahwa “semua ketentu-an yang bertentangan dengan UU ini dinyatakan tidak berlaku”.

Ketentuan umum pidana bersyarat dalam Pasal 14 –f KUHP, malahan oleh Pasal 29 UU No.3/1997 dengan restriktif limitative “memperkaku” hanya untuk pidana penjara dan lamanya masa percobaan maksimum 3 tahun (dengan tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran). Menurut Barda Nawawi Arief, ketentuan KUHP tentang pidana bersyarat dapat dijatuhkan tidak hanya untuk pidana penjara, tetapi juga untuk pidana kurungan, denda yang sangat berat, dan bahkan juga untuk pidana tambahan (apabila hakim tidak menentukan lain). Masa percobaannya, menurut KUHP, dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Padahal dilihat dari ide/filosofi pidana bersyarat sebagai salah satu bentuk alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan atau sebagai salah satu bentuk “non-custodial measures”, dan juga sebagai salah satu bentuk “strafmodus”, maka seharusnya juga dapat diberikan untuk pidana kurungan dan jenis-jenis pidana lainnya. Dengan kata lain, peluang untuk memberikan pidana bersyarat kepada anak itu seharusnya lebih diperbesar sesuai dengan ide dibuatnya ketentuan pidana khusus untuk anak serta amanat pada konsiderans UU No.3/1997 itu sendiri. Dirasakan janggal, kalau terhadap orang dewasa saja peluang yang lebih besar itu tersedia (seperti yang diatur dalam KUHP), sedangkan peluang untuk anak dipersempit.
Disisi lain beberapa formulasi ketentuan hukum ajektif dari UU No.3/1997 telah menentukan sendiri mengenai batas-batas yang menjadi kompetensi khusus dalam mengadili anak, yaitu:
a. pembatasan umur orang yang dapat diperiksa tahap penyidikan hingga disidangkan dalam acara persidangan anak, yaitu berumur kurang dari 8 tahun hingga 18 tahun sebagaimana diatur Pasal 1 butir 1 dan Pasal 4 ayat (1) UU No.3/1997;
b. kehususan dari ruang lingkup pembatasan yang masuk kompetensi dalam perkara anak nakal ditentukan Pasal 1 ayat 2.
c. Kehususan aparat penegak hukum yang menangani perkara anak nakal, mulai ditingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan, sebagaimana ditentukan Pasal 1 ayat 5, 6, dan 7.
d. Adanya pembimbingan kemasyarakatan yang terdiri dari Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Pekerja Sosial Sukarela yang mempunyai peran penting untuk pertimbangan putusan hakim dalam peradilan anak. Ketentuan tentang hal itu ditemukan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 11.
e. Suasana pemeriksaan dalam persidangan dibedakan dengan pemeriksaan orang dewasa, yaitu dikondisikan suasana kekeluargaan dan bersahaja, diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat 1.
f. Jika dalam tindak pidana deelneming yang melibatkan anak, pemeriksaan terhadap anak dilakukan secara splitsing dari pelaku orang dewasa. Diatur dalam ketentuan Pasal 7.
g. Pemeriksaan sidang dilakukan secara tertutup, ditentukan Pasal 8 ayat 1.
h. Pemeriksaan perkara dilakukan oleh hakim tunggal, ditentukan Pasal 11,14 dan 18.
i. Masa penahanan lebih singkat dari orang dewasa, diatur Pasal 44 s/d 49.
j. Tidak mengenal hukuman pidana mati, dan untuk hukuman badan hanya mengenall pidana penjara sementara waktu maksimal 10 tahun, diatur dalam Pasal 22 s/d 32.

Kewenangan sidang anak dalam undang-undang ini hanya mengatur tentang memeriksa dan menyelesaikan perkara anak nakal, yaitu anak yang melakukan tindak pidana atau yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak (Pasal 21). Bagi anak nakal dapat dijatuhkan sanksi pidana dan/ atau tindakan. Sanksi pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana pengawasan. Pidana tambahan terdiri atas pidana perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti kerugian, sebagaimana diatur Pasal 23, 28, 29,30, dan 32. Tindakan terdiri atas pengembalian anak pada orang tua, penyerahan anak pada Negara atau penyerahan anak kepada Departemen Sosial dan Organisasi Kemasyarakatan, selain itu ditambahkan pula teguran dan syarat tambahan lain (Pasal 24).
Petugas Kemasyarakatan dalam ketentuan Pasal 33 ditentukan terdiri dari:
a. Pembimbing Kemasyarakatan;
b. Pekerja Sosial dari Departemen Sosial;
c. Pekerja Sosial dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (BAPAS) bertugas melakukan bimbingan warga binaan pemasyarakatan (Pasal 1 angka 11). Petugas Kemasyarakatan bertugas:
a. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal, baik di dalam maupun di luar sidang anak, dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan;
b. Membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Pasal 34 ayat 1). Petugas Sosial bertugas membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Di dalam pelaksanaannya Petugas Kemasyarakatan berkoordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 34 ayat 3). Pekerja Sosial Sukarela (seperti LSM) yang memiliki pengetahuan, dan kemampuan serta berminat membantu anak nakal ditugaskan membantu dan berkoordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan dan Petugas Sosial dari Departemen Sosial (pasal 39 ayat 1)
Dengan ketentuan tersebut, maka peran Pembimbing Kemasyarakatan dari BAPAS dalam perkara sidang anak mengalami perobahan peran yang cukup signifikan, sebab dengan ketentuan UU No.3 tahun 1997 ini kedudukan BAPAS tidak lagi sepenuhnya berada di lini belakang dalam mata rantai proses pemidanaan anak. BAPAS sudah sejak semula dari awal tindakan pro justitia, yaitu mulai dari taap penyidikan, penuntutan, dan persidangan sudah dituntut perannya untuk memberikan laporan kemasyarakatan anak pelaku delinkuen. Perkembangan peran BAPAS ini sudah barang tentu akan menuntut pembenahan personalia (staffing) dan kualitas SDM petugas BAPAS yang lebih professional terhadap penanganan perkara anak agar tercapai yang dikehendaki dari tujuan dibuatnya undang-undang ini dalam melindungi anak.
Dari ketentuan substantive UU No.3 tahun 1997 yang mengatur tentang peradilan anak nakal tidak ada mengatur tentang diversi, yaitu membuat pengaturan dari bentuk penyimpangan penanganan anak pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional sebagaimana dikehendaki dalam Commentary Rule 11 Resolusi PBB 40/33, UN Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice. Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen, diversi dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat system peradilan pidana anak. Bila diperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Resolusi PBB 40/33, dan kecenderungan pengaturan proses pemidanaan anak dibeberapa Negara (Amerika Serikat, Inggris, Negara Belanda, Australia, Selandia Baru dan Jepang) semuanya mengatur diversi dalam penanganan anak pelaku delinkuen. Dari sisi perlindungan kepentingan terbaik anak, maka keberadaan diversi ini sangat diperlukan, sebab melalui diversi tersebut penuntutan pidana gugur dan criminal track-record anakpun serta stigmatisasi anak tidak terjadi.
Menurut catatan Lembaga Advokasi Hak Anak Bandung tahun 2002, ternyata, 95% AKH dikenakan penahanan dan di tingkat penyidikan banyak yang mengalami kekerasan, serta 100% vonis hakim berupa hukuman penjara. Selain itu, data perkara anak yang ditangani Polwiltabes Bandung tahun 2000 menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2001, yaitu dari 38 perkara menjadi 55 perkara.
Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan anak seharusnya menjadi pilihan terakhir dari aparat penegak hukum terkait, sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan Anak, maupun UU Perlindungan Anak. Akan tetapi, realita menunjukkan antara law in book (teori) dengan law in action (praktik) kerap terjadi kesenjangan di negeri ini. Bahkan, penerapan hukum sering dirasakan
oleh si lemah begitu keras, kaku, dan salah kaprah.
Diterapkannya proses peradilan formal secara mutlak setiap kasus anak nakal dengan dijatuhi pidana penjara pembinaannya harus dilakukan di lembaga pemasyarakatan khusus anak, jaminan terhindarnya dari stigmatisasi dan mempengaruhi criminal track-record anak dengan kondisi pelayanan Lembaga Pemasyarakatan Anak saat ini masih menjadi pertanyaan besar. Sebagai sutau gambaran dari penelitian Paulus Hadisuprapto pada LP Khusus anak ternyata ditemukan tidak semua anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan dan bina di LP Anak, berarti anak-anak lainnya berada dalam LP bukan khusus untuk anak termasuk pembinaannya. Dalam penelitiannya Paulus juga telah mewawancarai terhadap anak-anak tersebut, sebagian besar menyatakan bahwa pengalaman mereka mengindikasikan bahwa perlakuan para aparat penegak hukum terhadap mereka selama dalam proses pemidanaan (sejak dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan) cenderung kurang dihargai pribadinya sebagai anak. Pengamatan beliau dari berbagai instansi subsistem peradilan pidana anak menunjukkan bahwa persyaratan profesionalitas aparat penegak hukum di bidang anak tidak terpenuhi, persyaratan sebagai penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak hanya berdasarkan formalitas saja. Artinya bahwa penunjukan penyidik anak, penunutut umum anak dan hakim anak hanya berdasarkan atas Surat Penunjukkan dari atasan mereka masing-masing dan tidak dilihat akan komitmen dan pemahamannya terhadap permasalahan anak-anak seperti disyaratkan oleh UU Pengadilan Anak. Kesimpulan dari penelitian beliau, bahwa implementasi UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam prakteknya cenderung memberikan stigma atas diri anak. Proses stigmatisasi ini berlangsung di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan hingga di tempat pembinaan. Keadaan ini sudah barang tentu akan sangat merugikan perkembangan jiwa anak pelaku di masa datang.
Dari kajian kriminologi mengisyaratkan bahwa stigmatisasi atas diri anak pelaku delinkuen disamping akan membekas bagi jiwa anak, juga sangat potensial seabagai factor kriminogen- melalui proses yang disebut “self-fulfiling prophecy” anak cenderung mengindentifikasikan dirinya sesuai dengan “cap” yang disandangnya dan akan mengulangi lagi perbuatan kenakalannya di masa mendatang (secondary deviance).
Bertolak dari hasil penelitian Paulus Reksodiputro dan tragedy kasus Raju di Pengadilan Negeri Stabat tersebut, mencerminkan tentang implementasi UU No.3 tahun 1997. Pada intinya ketentuan ius constitutum mengenai Pengadilan Anak saat ini tidak efektif sebaimana yang digariskan pada konsiderans dan penjelasan Undang-undang itu sendiri, disebabkan pada undang-undang itu tidak memberikan ruang dan jalan keluar untuk melakukan diskresi dan diversi kepada hakim setelah melihat penilaian BAPAS. Padahal diskresi dan diversi merupakan klep pengaman bagi anak-anak pelaku delinkuen tertentu, untuk terhindar dari proses konvensional system peradilan pidana anak yang lazimnya memiliki dampak negative terhadap terjadinya stigmatisasi anak.
Sebaliknya pada tataran ius operatum ketentuan UU No.3 tahun 1997, penegakan hukumnya belum mampu dilakukan oleh aparat penegak hukum yang profesional membidangi anak sebagaimana dikehendaki undang-undang itu sendiri. Dalam kajian kriminologi,stigmatisasi yang dialami anak menjadi factor pemicu kriminogen dalam mengulangi kenakalan berikutnya.

C. Beberapa Corak Peradilan Anak
Gordon Bazomore dalam tulisannya “Three Paradigms of Juvenile Justice” memperkenalkan tiga corak atau model peradilan anak, yaitu:
a. model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model);
b. model retributive (retributive model);
c. model restorative (restorative model)
Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan model retributive (retributive model) telah mempercayakan campur tangan peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak. Di dalam model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai suatu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samara-samar, pembinaan dilandaskan pada cara medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Atas dasar itu delinkuensi anak dipandang sebagai simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan terapeutik untuk mengkoreksi gangguan-gangguan yang ada sebelumnya. Model pembinaan pelaku perorangan di negara-negara Erofa dikenal sebagai “model kesejahteraan anak”, berangkat dari satu cara pandang bahwa kejahatan atau delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau diharapkan pada perangkat nilai-nilai, melainkan lebih dilihat sebagai tanda tidak fungsionalnya sosialisasi. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan social lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku delinkuen.
Corak atau model pembinaan pelaku perorangan ini dirasakan kelemahannya terutama tidak terjaminnya timbul stigmatisasi, paternalistic, mahal, tidak memadai, dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya. Di samping itu, model ini dilihat masih belum berhasil mengarahkan secara formal kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas sanksi terhadap anak pelaku delinkuen dan gagal memainkan peran dari peradilan anak dalam kerangka penyelamatan public. Keputusan bersifat ambivalen dan tak taat asas (inconsistent) serta cenderung menyembunyikan maksud pemidanaan dengan mengatasnamakan keselamatan public.
Seiring dengan kritik terhadap model pembinaan pelaku perorangan terhadap anak tersebut, kemudian muncul tuntutan untuk segera mereformasi peradilan anak. Arah reformasi tertuju pada pengaplikasian filosofis “pemberian ganjaran”. Pengaplikasian filosofis itu dimaksudkan sebagai upaya untuk merasionalisasikan ketidakpastian pembuatan keputusan dalam persidangan anak, dan untuk menegaskan kembali pentingnya fungsi sanksi. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah tuntutan akan perlunya mengadopsi pedoman pemberian pidana yang pasti, undang-undang tentang anak tidak lagi menekankan rehabilitasi dan membuang kerangka acuan berorientasi pada keperluan pelaku.

D. Model Restorative Justice Suatu Alternatif Konsep Peradilan Anak Indonesia

Model peradilan anak restorative berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar pada model peradilan restorative ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan system peradilan anak.
Ciri pembeda model restorative dengan kedua model lainnya terletak pada sisi pandang terhadap perilaku delinkuensi anak. Menurut model restorative, perilaku delinkuensi anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restorative terhadap delinkuensi terarah pada perbaikan kerugian itu dan penyembuhan luka masyarakat. Peradilan restorative tidak bersifat punitive, tujuan utamanya adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi dikalangan korban, pelaku dan masyarakat. Model peradilan restoratif juga berkehendak untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan pelaku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses.
Konsep restorative justice telah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah.
Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hokum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.
Selain dalam hukum adat, musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana juga dikenal dalam hukum Islam, bahkan dalam perkara berat dan dilakukan orang dewasa sekalipun, seperti pembunuhan, yaitu apabila keluarga korban memaafkan pelaku kejahatan dan biasanya pelaku membayar diat (uang pengganti) kepada keluarga korban, hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al Baqarah ayat 178.
Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan berkurangnya jumlah anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan divonis penjara; menghapuskan stigma/cap dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari; pelaku pidana anak dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan Lapas; menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan orang tua dan masyarakat dalam mengatasi kenakalan anak dan; pengintegrasian kembali anak ke dalam masyarakat. Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan bila kejadiannya di sekolah dapat dilakukan kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah pemulihan adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui musyawarah pemulihan. Jadi, musyawarah tidak boleh didasarkan atas paksaan. Apabila pihak-pihak tidak menghendaki penyelesaian melalui musyawarah pemulihan, maka proses peradilan baru berjalan.
Dalam konsep restorative ini proses peradilan sebagai ultimum remedium, apabila pintu diskresi tidak ditemukan. Proses peradilan yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, ertinya perkara betul-betul ditangani aparat penegak hukum yang mempunyai minat, pehatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan restorative justice, serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dari Konvensi Hak-hak Anak yang telah diadopsi ke dalam UU Perlindungan Anak. Apabila anak terpaksa harus ditahan, penahanan tersebut harus di rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dihukum penjara, anak harus ditempatkan di lapas anak. Baik di rutan maupun di lapas, anak tetap harus bersekolah dan mendapatkan hak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules (Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak) agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah, karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan negara.

Minggu, 10 Mei 2009

KOMPARASI MODEL PEMIDANAAN ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

1. Model formulasi sanksi pidana
Pengaturan tentang model pemidanaan baik berupa pidana maupun tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 23 dan 24 UU No..3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 45 , 46, dan Pasal 47 KUHP. Ketentuan dari ketiga pasal KUHP tersebut telah dicabut oleh Pasal 67 UU No.3 Tahun 1997. Dengan demikian ketentuan hukum pidana yang mengatur ketentuan tentang anak saat ini ada diatur dalam UU No.3 Tahun 1997. Konsekuensi dicabutnya ketentuan Pasal 45 s/d 47 KUHP menyebabkan sistem pemidanaan terhadap anak tidak lagi merupakan satu kesatuan sistem yang utuh. Ketentuan mengenai anak dalam Pasal 45 s/d 45 KUHP merupakan salah satu bagian dari keseluruhan system pemidanaan dan keselurhan system pemidanaan anak, karena system pemidanaan terhadap anak tidak hanya diatur dalam Pasal 45 s/d 47 KUHP saja yang hanya mengatur tentang kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan tentang jenis-jenis sanksi (pidana dan tindakan) dan lamanya pidana untuk anak yang melakukan tindak pidana. Dengan dicabutnya Pasal 45 s/d 47 KUHP, maka salah satu sub-sistem pemidanaan anak dalam KUHP sudah tidak ada, dan diganti dengan aturan-aturan yang ada di dalam UU No. 3/1997. Dengan demikian aturan/sistem pe-midanaan anak yang semula berada di dalam KUHP, khususnya yang berkaitan dengan jenis-jenis sanksi pidana (strafsoort) dan lamanya pidana (strafmaat), sekarang berada di luar KUHP. Ini berarti aturan khusus tentang “strafsoort” dan “strafmaat” di dalam UU No. 3/ 1997 itu telah menjadi “aturan umum baru” untuk semua anak, menggantikan aturan umum yang ada di dalam KUHP.
Sedangkan di Negara Belanda, Yunani, dan Yugoslavia ketentuan hokum pidana untuk anak tetap disatukan dalam KUHP. perbandingan pengaturan terhadap ketentuan hokum pidana terhadap anak dapat dilihat sebagai berikut: .
Undang – undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 tidak mengikuti ketentuan Pidana pada Pasal 10 KUHP, dan membuat sanksinya secara tersendiri. Pidana pokok menurut Undang – undang No. 3 Tahun 1997 (Pasal 23 ayat 2) terdiri dari :
a. Pidana Penjara (maksimum 10 tahun).
b. Pidana Kurungan;
c. Pidana Denda, atau
d. Pidana Pengawasan.
Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati, maupun penjara seumur hidup. Akan tetapi pidana penjara bagi anak nakal maksimal 10 (sepuluh) tahun. Jenis pidana baru dalam undang – undang ini, adalah pidana pengawasan yang tidak ada diatur dalam KUHP.

Pidana tambahan bagi anak nakal, dapat berupa :
a. Perampasan barang – barang tertentu, dan / atau
b. Pembayaran ganti kerugian.
Ketentuan jenis sanksi pidana dalam UU No.3 Tahun 1997 agak berbeda dengan ketentuan sanksi pidana yang berlaku terhadap anak di Belanda, ketentuan pidana untuk anak tidak diatur dalam undang-undang tersendiri tetapi tetap disatukan dalam KUHP.
Ketentuan – ketentuan Khusus untuk Anak dalam KUHP Belanda ditemukan dalam Pasal 77h :
1. Pidana pokok :
a. untuk kejahatan : kurungan anak atau denda;
b. untuk pelanggaran : denda
2. Satu atau lebih sanksi alternative berikut ini dapat dikenakan sebagai pengganti pidana pokok dalam ayat 1 :
a. kerja sosial / pelayanan masyarakat (community servicelbet verrichten van onbetaalde arbeid van ten algemenen nutte).
b. pekerjaan untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana (work contributing to the repair of the damage resulting from te criminal offenselbet verrichten vanm arbeid tot berstel van de door bet strafbare feit aangerichte schade)
c. Mengikuti proyek pelatihan (attendance at a training project; bet volgen van een leerproject)
3. Pidana tambahan dari :
1. perampasan (forfeiture)
2. pencabutan SIM (disqualification from driving motor vebicle)

Ketentuan dalam UU No.3 Tahun 1997, ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal pelaku tindak pidana, dalam ketentuan Pasal 26 (1) Undang – undang No. 3 Tahun 1997 ditegaskan paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka bagi anak ancaman pidana itu maksimum 10 (sepuluh) tahun. Dengan ketentuan Pasal 26 ini, maka ketentuan – ketentuan dalam KUHP tentang ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman hukuman bagi orang dewasa.
Selanjutnya dalam ketentuan UU No.3 Tahun 1997 menentukan, bagi anak nakal yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup, sesusi Pasal 24 (1) huruf a Undang – undang No. 3 Tahun 1997, maka terhadapnya tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana; melainkan menyerahkan anak itu kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Di Yunani dalam pengaturan tentang pidana terhadap anak berada dalam KUHP. Ketentuan KUHP Yunani mengenal usia dewasa muda.
“Jika dewasa muda pada saat delik dilakukan yaitu berumur 18 –21 tahun. Jika saat delik dilakukan pelaku masih berusia 18 -21 tahun , dapat dikenakan pidana custodial seperti orang dewasa, tetapi mendapat pengurangan.

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sesuai Pasal 1 angka 2 huruf a Undang – undang No. 3 Tahun 1997, paling lama (maksimum) setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Demikian juga pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 28 Undang – undang No. 3 Tahun 1997) adalah setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Apabila denda itu ternyata tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dengan jam kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari, dan tidak boleh dilaksanakan pada malam hari. Ketentuan ini mengikuti Pasal 4 Permenaker No. : Per-01 / Men / 1987 yang menentukan anak yang terpaksa bekerja tidak boleh bekerja lebih dari 4 (empat) jam sehari, tidak bekerja pada malam hari.
Dalam hal pidana penjara yang dapt dijatuhkan kepada anak nakal maksimal 2 (dua) tahun, maka dalam hal demikian sesuai
Pasal 29 Undang – undang No. 3 Tahun 1997 hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana bersyarat. Ini sepenuhnya bergantung kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat atau tidak. Apabila dijatuhkan pidana bersyarat, maka ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah anak nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. Sementara syarat khusus misalnya tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor, atau wajib mengikuti kegiatan – kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Jadi syarat umum tidak mengulangi tindak pidana lagi, sedangkan syarat khususnya melakukan atau tidak melakukan hal – hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan dengan mengusahakan kebebasan anak. Masa hukuman syarat khusus harus lebih pendek dari syarat umum dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Selama masa hukuman bersyarat, pengawasan terhadap anak nakal dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sementara bimbingan dilakukan oleh Pembimbing kemasyarakatan. Tujuannya adalah agar anak nakal itu menepati syarat yang telah ditentukan. Anak yang menjalani hukuman bersyarat dibimbing di Balai Pemasyarakatan. Selama berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan, anak nakal dapat mengikuti pendidikan sekolah.
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam (Pasal 1
angka 2 huruf Undang – undang No. 3 Tahun 1997), sesuai Pasal 30 Undang – undang No. 3 Tahun 1997 paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Pidana pengawasan, adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari – hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Anak nakal yang oleh hakim diputus untuk diserahkan kepada negara (Pasal 31 Undang – undang No. 3 Tahun1997) ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara. Pembinaannya menjadi tanggung jawab Lembaga Pemasyarakatan Anak. Untuk itu Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman RI, agar Anak Negara tersebut ditempatkan di Lembaga Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Maksudnya adalah untuk kepentingan dan masa depan anak. Atau dalam hal kepentingan anak menghendaki, anak itu dapat diserahkan kepada Panti Sosial Pemerintah atau Swasta, atau Orang Tua Asuh (OTA) yang memenuhi syarat.
Dalam hal hakim menetapkan anak nakal harus mengikuti pendidikan pembinaan dan latihan kerja (Pasal 32 Undang – undang No. 3 Tahun 1997), maka hakim dalam penetapannya menentukan lembaga tempat pendidikan pembinaan dan latihan kerja itu dilaksanakan. Untuk menentukan, apakah kepada anak nakal akan dijatuhkan pidana atau tindakan, maka hakim memperhatikan berat atau ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan. Di samping itu juga diperhatikan : keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua / wali / orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya. Di samping itu hakim juga wajib memperhatikan Laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Dari perbandingan ketentuan pidana terhadap anak yang terdapat dalam ketentuan UU No.3 Tahun 1997 dan beberapa Negara lainnya dapat diketahui ketentuan usia anak yang dapat dikenakan pidana (usia 12 -18 tahun), masih tergolong relative muda dibandingkan dengan ketentuan Negara-negara lain. Ketentuan ini memberikan gambaran perlindungan hokum tentang hak-hak anak dalam UU No.3 Tahun 1997 masih perlu diperbaharui. Permasalah lain dalam ketentuan jenis sanksi dan lamanya sanksi pidana, tidak membuat pedoman tentang prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh hakim dalam menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Menurut Barda Nawawi Arief, di dalam dokumen-dokumen internasional, seperti SMR-JJ (The Beijing Rules) dinyatakan antara lain:
Rule 17.1.
Pengambilan keputusan oleh pejabat yang berwenang (termasuk hakim,pen) harus berpedoman pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. reaksi yang diambil (termasuk sanksi pidana, pen) selalu harus diseimbangkan tidak hanya dengan keadaan-keadaan dan bobot/keseriusan tindak pidana. (the circumstances and the gravity of the offences),tetapi juga dengan keadaan-keadaan dan kebutuhan si anak (the circumstances and the needs of the juvenile) dan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat (the needs of the society);
b. Pembatasan kebebasan/kemerdekaan pribadi anak (restrictions on the personal liberty of the juvenile) hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin;
c. perampasan kemerdekaan pribadi (deprivation of personal liberty) jangan dikenakan kecuali anak melakukan perbuatan serius (termasuk tindakan kekerasan terhadap orang lain) atau terus menerus melakukan tindak pidana serius, dan kecuali tidak ada bentuk respons/sanksi lain yang lebih tepat;
d. kesejahteraan anak harus menjadi factor pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak.

Rancangan KUHP Tahun 2005 telah merumuskan ketentuan tentang pidana dan tindakan bagi anak, yaitu diatur dalam Pasal 110 s/d pasal 128 RUU KUHP.
Pasal 111 memberikan pedoman kepada hakim untuk menjatuhkan pidana dan tindakan kepada anak.
Pasal 111 berbunyi:
(1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan Pasal 52, demi kepentingan masa depan anak, pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan petugas kemasyarakatan.
(2) Penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat:
a. anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/ atau
b. anak dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya.

2. Model formulasi tindakan terhadap anak
Selain sanksi pidana, tindakan merupakan ketentuan yang dapat dikenakan kepada anak nakal. Ketentuan tindakan dalam UU No.3 Tahun 1997 diatur dalam Pasal 24.
Pasal 24 UU No.3 Tahun1997 berbunyi:
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

Ketentuan KUHP Belanda, tindakan- tindakan terhadap anak terdiri dari:
a. penempatan pada lembaga khusus untuk anak (“committal een to an institution for young persons; plaatsing in een inrichting voor jeugdigen)
b. penyitaan (confiscation ; onttrekking aan bet verkeer);
c. perampasan keuntungan dari perbuatan melawan hukum (deprivation of unlawfully obtained gains; ontnemng van wederrechtelijk verkregen voordeel);
d. kompensasi / ganti rugi atas kerusakan / kerugian (compensation for the damage; schade vergoeding).

Dalam ketentuan UU No.3 Tahun 1997 terhadap anak nakal yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a. Yang diancam dengan pidana penjara sementara waktu, tidak diancam dengan hukuman mati / seumur hidup tidak dijatuhkan sanksi akan tetapi dikenakan tindakan. Untuk dapat diajukan ke depan sidang Pengadilan Anak, maka anak nakal minimum telah berumur 8 (delapan) tahu dan maksimum 18 (delapan belas) tahun.
Sementara anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, Walaupun melakukan tindak pidana belum dapat diajukan ke sidang Pengadilan Anak. Ini didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis dan paedagogis, bahwa anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun itu belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akan tetapi dalam hal anak itu melakukan tindak pidana dalam batas umur 8 (delapan) tahun, akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka ia diajukan ke depan sidang Pengadilan Anak.
Di Yunani, pengaturan untuk anak dan remaja dalam KUHP terdapat pada Bab VIII Bagian Umum KUHP Yunani. Sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief,
“Pelaku muda yang berusia antara 7 – 18 tahun dihukum dengan “tindakan reformatif” (Pasal 122 PC); “tindakan perawatan” (Pasal 123 PC); dan yang berusia 13 tahun atau lebih dikenakan “penahanan dalam panti asuhan” (Pasal 127 PC). Pertanggungjawaban pidana dimulai pada usia 13 tahun”

Dalam UU No.3 Tahun 1997 sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 hurus a Undang – undang No. 3 Tahun 1997 dan anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi anak sesuai Pasal 1 angka 2 huruf b Undang – undang No. 3 Tahun 1997 dapat diberi tindakan disertai dengan teguran dan syarat – syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Untuk menentukan apakah si anak akan dikenakan pidana (Pasal 23 Undnag – undang No. 3 Tahun 1997) atau tindakan (Pasal 24 Undang – undang No. 3 Tahun 1997) haruslah dengan memperhatikan berat ringannya kejahatan atau kenakalan yang dilakukan. Selain itu juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua / wali / orang tua asuhnya, hubungan antara anggota keluarga, keadaan penghuninya dan memperhatikan Laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Di Yunani, tindakan untuk anak yang erusia 7 – 18 tahun dapat berupa:
1 . tindakan-tindakan reformatif berupa:
- teguran keras/cercaan (reprimand) bagi remaja (atau anak-anak);
- penempatan remaja (atau anak) di bawah pengawasan orang tua/wali;
- penempatan remaja (anat anak) pada perwakilan pengawas/yayasan perlindaungan anak, lembaga perlindungan, atau suatu panti khusus untuk remaja;
- penempatan remaja pada Negara bagian/kotapraja/lingkungan masyarakat yang tepat, atau lembaga pendidikan privat.
2. Tindakan perawatan, dapat diperintahkan atas nasihat spesialis medis di mana remaja memerlukan perhatian khusus. Kususnya karena menderi gangguan kejiwaan, buta, bisu, tuli, epilepsy dan sebagainya.
3 Untuk anak berusia 7-12 than hanya dapat dikenakan tindakan reformatif atau tindakan perawatan.

Berbeda dengan ketentuan di Negara asing tersebut, adapun tindakan yang dapat dikenakan kepada anak nakal berdasarkan Pasal 24 Undang – undang No.3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut :
a. Dikembalikan kepada Orang Tua / Wali / Orang Tua Asuh
Anak nakal dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua / wali / orang tua asuh, apabila menurut penilaian hakim si anak masih dapat dibina di lingkungan orang tuanya / wali / orang tua asuhnya. Namun demikian si anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan antara lain untuk mengikuti kegiatan kepramukaan, dan lain – lain.
b. Diserahkan kepada negara
Dalam hal menurut penilaian hakim pendidikan dan pembinaan terhadap anak nakal tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan keluarga (Pasal 24 ayat 1 huruf b Undang – undang No. 3 Tahun 1997), maka anak itu diserahkan kepada negara dan disebut sebagai Anak Negara. Untuk itu si anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti Pendidikan, pembinaan dan Latihan Kerja. Tujuannya untuk memberi bekal keterampilan kepada anak, dengan memberikan ketrampilan mengeai : Pertukangan menjalankan tindakan si anak diharapkam mampu hidup mandiri.
c. Diserahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial
Tindakan lain yang mungkin dijatuhkan hakim kepada anak nakal adalah menyerahkannya kepada Departemen Sosual atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja untuk didididik dan dibina. Walaupun pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja itu diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau oleh Departemen Sosial. Akan tetapi dalam hal kepentingan si anak menghendaki, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut diserahkan kepada organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti : pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya (Pasal 24 ayat 1 huruf c Undang – undang No. 3 Tahun 1997). Apabila anak diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, maka harus diperhatikan agama dari anak bersangkutan.
Disamping tindakan yang dikenakan kepada anak nakal, juga disertai dengan teguran dan syarat – syarat tambahan yang ditetapkan oleh kahim sesuai Pasal 24 (2) Undang – undang No. 3 Tahun 1997. Teguran itu, berupa peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak, atau tidak langsung melalui orang tuanya, walinya atau orang tua asuhnya. Maksud dari teguran ini, agar anak nakal tidak lagi mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan.
Sementara syarat tembahan, misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Umpama seminggu sekali, sebulan sekali atau pada hari – hari tertentu.
Catatan:
Diedit kembali dari makalah penulis