Kamis, 14 Mei 2009

KEBIJAKAN DAN KELEMAHAN FORMULASI SISTEM PEMIDANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI INDONESIA

Oleh : M.Musa


A. PENDAHULUAN

Undang-Undang No.18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang No.34 tahun 2000 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang No.18 tahun 1997 (Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000) merupakan payung dari Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi daerah, baik pajak dan retribusi daerah untuk provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan dan kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk membuat Perda Pajak dan Perda Retribusi, sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah daerah.
Untuk menggali potensi pendapatan asli daerah, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 antara lain menyatakan bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan salah satu sarana untuk membiayai pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dihadapan Rapat Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Daerah (DPD), menyebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan pajak yang kewenangannya diserahkan kepada daerah masih sangat terbatas, selain itu masih terdapat beberapa Pemda menerbitkan berbagai Perda yang tidak sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. berbagai jenis pungutan dan retribusi yang memberatkan masyarakat dan pelaku usaha, yang akhirnya menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan mengurangi daya saing daerah.
Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai perobahan dari Undang-Undang No.18 tahun 1997 dibuat adalah untuk memberikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan Peraturan daerah (Perda) untuk pemungutan pajak dan retribusi. Undang-undang ini selain mengantur batas-batas dan jenis perpajakan daerah provinsi, kabupaten/kota, maka untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran Perda ditentukan pula dalam Undang-undang tersebut penggunaan ketentuan sanksi pidana disamping sanksi administrasi.
Pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dapat dikenakan sanksi adminstrasi berupa bunga sebagaimanan ditentukan Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.34 tahun 2000, sedangkan terhadap wajib retribusi yang tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar dikenakan sanksi administrasi sebagaimana ditentukan Pasal 27 Undang-Undang tersebut.
Selain ketentuan sanksi administrasi , untuk penegakan hukum dari ketentuan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 Tahun 2000, pembentuk undang-undang juga memformulasikan ketentuan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan wajib pajak dan wajib retribusi. Ketentuan sanksi pidana terhadap pelangaran undang-undang tersebut dirumuskan dalam tiga pasal, yaitu ketentuan sanksi pidana yang diatur Pasal 37 ditujukan kepada wajib pajak, Pasal 39 memuat sanksi pidana yang ditujukan terhadap pelanggaran yang dilakukan wajib retribusi, sedangkan Pasal 40 merupakan ketentuan yang ditujuakn kepada pejabat yang tidak menjaga kerahasiaan data yang diberikan wajib pajak.
Berdasarkan penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 Tahun 2000, bahwa “dengan adanya sanksi pidana diharapkan timbul kesadaran wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya”. Dengan demikian berarti tujuan dari pembentuk undang-undangn mengadakan sanksi pidana dalam undang-undang, adalah untuk dapat dipatuhi atau tegaknya ketentuan perundang-undangan perpajakan daerah yang dijabarkan pada Perda oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 Tahun 2000 menentukan sanksi pidana secara indefinit berupa penjara yang dialternatifkan dengan pidana denda, terhadap pelanggaran yang dilakukan subjek pajak dan retribusi . Formuasi ini merupakan suatu hal yang wajar jika ditilik dari sisi fungsinya sebagai alat untuk penegakan hukum ketentuan Perda Pajak atau Retribusi Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan diformulasikannya sanksi pidana tersebut akan dapat digunakan sebagai sarana dalam menyelesaikan pelanggaran Perda pajak dan retribusi, jika penyelesaian administrasi tidak mampu lagi digunakan untuk penegakan ketentuan hukumnya oleh pemerintah daerah.
Terhadap ketentuan hukum admnistrasi yang menggunakan sanksi pidana ini, Barda Nawawi Arief pernah mengatakan bahwa:
“ Karena hukum administrasi pada dasarnya “hukum mengatur atau hukum pengatur (“regulatory rules”), yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan (“regulatory powers”), maka “hukum pidana admnistrasi” sering disebut pula “hukum pidana pengaturan” atau “hukum pidana dari aturan-aturan” (Ordenungstrafrecht/Ordeningstrafrecht”).

Berkaiatan dengan itu maka dapat dikatakan pula hukum pidana administrasi adalah merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum administrasi. Dalam hal ini Barda Nawawi Arief menyebutnya sebagai suatu bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentalisasi hukum pidana dibidang hukum administrasi.
Ketentuan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No. 34 tahun 2000 selain memberikan pedoman untuk menggunakan instrument hukum pidana dalam penegakan hukum Perda Pajak dan Retribusi, undang-undang ini juga menentukan pula tatacara proses penegakan hukumnya oleh aparat penegak hukum terhadap pelanggaran Perda Pajak dan Retribusi.
Dari ketentuan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yang memberikan pedoman dalam memformulasikan ketentuan hukum pidana pada Perda Pajak dan Retribusi, ada beberapa prinsip yang dapat ditinjau dari sisi sistem pemidanaan pada hokum pidana substantif.

B. PEMBATASAN MASALAH

Ditinjau dari Ketentuan system pemidanaan pada Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000 dalam penegakan ketentuan Pajak dan Retribusi terdapat dua dua jenis system pemidanaan, yaitu ketentuan system pemidanaan hokum pidana substantive dan ketentuan system pemidanan hokum pidana ajektif. Dalam ketentuan hokum pidana substantive pada undang-undang ini, terdapat dua ketentuan jenis sanksi yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Tulisan ini membatsi permasalahan yang ditelaah hanyalah dalam lingkup hokum pidana substantive, yaitu tentang kebijakan formulasi sanksi pidana yang ditentukan Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000 untuk dapat digunakan dalam ketentuan Perda Pajak dan Retribusi.

C. KEBIJAKAN DAN KELEMAHAN FORMULASI SISTEM PEMIDANAAN

1. Kebijakan formulasi sanksi pidana dalam Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 Tahun 2000.

L.H.C.Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Sehubungan dengan itu, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan itu mencakup pengertian:
1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan;
2. Keseluruan sistem (aturan perundang-undangan) untuk penjatuhan dan pelaksanaan pidana;
3. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
4. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).


Dari pengertian tersebut di atas, mempunyai arti bahwa semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana adalah merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.
Bertolak dari pandangan L.H.C.Hulsman dan Barda Nawawi Arief di atas, maka untuk mengetahui kebijakan formulasi sanksi pidana dalam undang-undang pajak dan retribusi daerah dapat ditilik dari sistem pemidanaan pada KUHP, dimana KUHP sebagai induk hukum pidana substantif Indonesia merupakan pedoman dalam pembentukan perundang-undangan hukum pidana dan perundang-undangan yang bersanksi pidana. KUHP sebagai induk hukum pidana Indonesia saat ini adalah berasal dari WvS voor Nederlandsch-Indie (S.1915 No.732) yang dinyatakan berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang terdiri dari tiga buku, Buku I merupakan Aturan Umum, Buku II mengatur tentang Kejahatan, dan Buku III merupakan bab terakhir mengatur tentang Pelanggaran.
Sebagaimanan dimaklumi, bahwa sistem pemidanaan umum dalam KUHP mengandung ciri-ciri hanya mengenal “orang” sebagai pelaku/subjek tindak pidana, dengan berorientasi pada sistem pidana minimal umum, maksimal umum dan maksimal khusus, serta adanya pembedaan dengan tegas tentang kualifikasi tindak pidana yaitu berupa “kejahatan” dan “pelanggaran”. Namun dalam perkembangan undang-undang di luar KUHP telah mengalami kemajuan dalam menjawab kebutuhan aturan hokum yang tidak ada diatur dalam KUHP, perkembangan aturan hokum pidana itu sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan aturan hokum yang ada pada KUHP. Ketentuan yang menyimpang dari KUHP tersebut sebagai suatu ketentuan baru tidak merupakan masalah secara yuridis, karena memang dimungkinkan/diharuskan atau dibenarkan menurut ketentuan Pasal 103 dalam aturan umum pada Bab VIII KUHP . Namun perkembangan system pemidanaan dari undang-undang di luar KUHP akan menimbulkan permasalahan yuridis dilihat dari sudut sistem pemidanaan, jika tidak konsisten berpedoman dari ketentuan Pasal 103 KUHP yang mengandung asas lex spesialis de rogat legi generalis. Ketentuan Bab I hingga Bab VIII pada Buku I KUHP, pada prinsipnya berlaku juga terhadap ketentuan perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP, kecuali jika memang dinyatakan dengan tegas pada undang-undang tersebut system pidananya penyimpangi prinsip-prinsip ketentuan system pemidanaan yang ada pada KUHP.
Ketentuan system pemidanaan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak dan Retribusi tersebut di atas pada dasarnya tidak dapat terlepas dari ketentuan sistem pemidanaan dalam Pasal 103 KUHP. Maka konsekuensinya sistem pemidanaan undang-undang pajak dan retribusi daerah juga harus terintegrasi dalam aturan umum (general rules), jika tidak membuat aturan khusus (special rules) yang menyimpang atau berbeda dengan aturan umum.
Ketentuan sanksi pidana pada Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000 yang masing-masing merumuskan sanksi pidana terhadap wajib pajak, wajib retribusi, dan kepada pejabat yang berhubungan dengan pekerjaannya tidak merahasiakan segala sesuatu yang merugikan wajib pajak.
Secara lengkap formulasi ketentun sanksi pidana tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menentukan :
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang;
(2) Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang.

Selanjutnya Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menentukan:
“Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 4 kali jumlah retribusi yang terutang.”
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menentukan :
(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakanhal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00;
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurngan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp.5.000.000,00;
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar;
(4) Besarnya denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditinjau kembali dengan Peraturan Pemerintah.

Subjek dari tindak pidana dalam ketentuan Pasal 37 dan Pasal 39 tersebut adalah sebagai mana yang ditentukan dalam Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, yaitu orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah. Subjek pajak sekaligus juga merupakan wajib pajak sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf i, yaitu:
“Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungutan atau pemotongan pajak tertentu.”
Sedangkan pengertian tentang wajib retribusi dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 huruf ee yaitu orang pribadi atau badan yang menurut perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungutan atau pemotongan retribusi tertentu.
Badan dalam pengertian wajib pajak dan retribusi yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut ternyata cukup luas pengertiannya selain meliputi badan hukum (korporasi) termasuk pula bentuk organiasi-organisasi atau bentuk badan lainnya. Secara lengkap dalam ketentuan Pasal 1 huruf g menentukan, yaitu:
“ Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.”

Dari ketetuan Pasal 1 huruf g tersebut terlihat dalam undang-undang ini telah memperluas pengertian subjek hukum dari ketentuan KUHP yang hanya berorientasi kepada orang dan tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum ataupun bentuk kumpulan lainnya.
Retribusi dalam ketentuan Pasal 1 huruf z Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 merupakan pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berbeda dengan pengaturan tentang pajak daerah yang merumuskan juga tentang pengertian subjek pajak, dalam undang-undang ini tidak merumuskan pengertian subjek retribusi. Dari ketentuan tersebut terlihat subjek dari retribusi sama dengan subjek pajak, selain orang juga mengenal badan hukum atau organisasi lainnya. Tetapi dalam kebijakan sistem pemidanaan dan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 terdapat perbedaan. Ketentuan Pasal 37 ayat (1) menentukan karena kealpaan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPPD) yang sifatnya merugikan keuangan daerah, dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak.
Terlihat jenis pidana/ sanksi yang diancamkan dalam perumusan delik Pasal 37 ayat (1) undang-undang ini hanya menggunakan pidana pokok berupa kurungan dan denda yang dirumuskan secara kumulatif-alternative. Tetapi jika dilakukan dengan sengaja, Pasal 37 ayat (2) merumuskan pidana pokoknya berupa kurungan dialternatifkan dengan denda, yaitu dipenjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang. Wajib pajak yang menyampaikan, mengisi dengan tidak benar, atau melampirkan keterangan yang tidak benar SPPD karena kealpaan yang sanksi pidananya dirumuskan secara kumulatif-alternatif terseksan lebih memperluas hakim untuk menetukan pilihan dalam menjatuhkan jenis sanksi dibandingkan jika perbuatan dilakukan dengan sengaja yang sanksinya dirumuskan secara alternative. Tujuan diadakannya sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ini, dalam Penjelasan Pasal 37 disebutkan yaitu diharapkan agar timbulnya kesadaran wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya. Sementara itu ketentuan Pasal 39 menentukan terhadap wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sehingga merugikan keuangan daerah, ancaman sanksi pidananya dirumuskan secara alternative. Namun ketentuan sanksi pidana dalam Pasal 39 ini yang diformulasikan oleh pembentuk undang-undang, tujuannya hanya digunakan untuk menakut-nakuti. Kehendak pembentuk undang-undang dalam tahap aplikasi ketentuan ini harus diterapkan secara selektif dan limitatif, sebagaimana digariskan dalam penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tersebut, yaitu:
“Pengajuan tuntutan ke pengadilan pidana terhadap wajib retribusi dilakukan dengan penuh kearifan serta memperhatikan kemampuan wajib retribusi dan besarnya retribusi yang terutang yang mengakibatkan kerugian daerah.
Namun sayangnya komitmen dari pembentuk undang-undang untuk mengembalikan kerugian keuangan daerah atas tindak pidana dalam perpajakan ini tidak konsisten, sebab dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menegaskan bahwa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan Negara.
Sedangkan pasal 40 mengatur tindak pidana dari pejabat pajak yang tidak merahasiakan segala yang diberitahukan oleh wajib pajak. Tujuan diadakannya ketentuan Pasal 40 ini dijelaskan dalam penjalasan Pasal 40 ayat (1) adalah untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain juga agar wajib pajak dalam memberikan data dan keterangan kepada Pejabat mengenai perpajakan daerah tidak ragu-ragu. Tindak pidana dalam pasal ini oleh pembentuk undang-undang menentukan sebagai delik aduan, alasan dikualifikasikan sifatnya sebagai delik aduan oleh pembentuk undang-undang dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (3) bahwa karena sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku wajib pajak atau wajib retribusi, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Ketentuan Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 tidak menetukan secara tegas kualifikasi tindak pidana terhadap perbuatan wajib pajak ataupun wajib retribusi dan pejabat perpajakan yang melanggar ketentuan yang diatur pasal-pasal tersebut, dan ketentuan pertanggungjawaban pidananya tetap menggunakan single track system, tidak seperti hukum pidana administrasi lainnya yang kebanyakan menganut double track system. Perumusan sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 37, 39, dan 40 menggunakan sistem minimal umum dan maksimal khusus.

2. Kelemahan/kekurangan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ditinjau dari sistem pemidanaan KUHP.
Sebagaimana dikatak di atas bahwa kedudukan hukum pidana dalam undang-undang perpajakan daerah, tidak dapat dipisahkan dari sistem pemidanaan hukum pidana substatif yang berlaku, karena hukum pidana yang terdapat di luar Buku I KUHP, baik yang ada pada Buku II dan Buku III KUHP maupun undang-undang khusus diluar KUHP merupakan sub-sistem dari kesatuan sistem dari hukum pidana substantif yang berinduk pada Buku I KUHP.
Barda Nawawi Arief pernah mengatakan bahwa:
“Keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun di dalam UU khusus di luar KUHP, pada hakikat-nya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP.”

Dengan demikian maka Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undnag-Undang No.34 tahun 2000 yang menggunakan ketentuan hukum pidana dalam penegakan hukumnya, tidak terlepas dari sistem pemidanaan dalam KUHP tersebut.
Barda Nawawi Arief dalam suatu kesempatan lain pernah mengatakan:
Terdapat perkembangan/perubahan sistem hukum pidana/pemidanaan dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP tentang:
a. Jenis sanksi pidana/tindakan; lamanya; dan perumusannya;
b. Aturan dan pelaksanaan pidana;
c. Subjek tindak pidana; dan
d. Kualifikasi tindak pidana; yang menyimpang dari KUHP dan dirumuskan secara tidak konsisten.

Keterkaiatan kedua undang-undang itu terhadap Buku I KUHP sebagai kesatuan sistem pemidanaan, maka kedua Undang-Undang Pajak dan Retribusi tersebut memiliki beberapa kelemahan/kekurangan ditilik dari system pemidanaan pada hokum pidana substantive. Beberapa kelemahan tersebut ditemukan dalam penentuan:
a. Kelemahan dalam merumuskan kualifikasi tindak pidana.
Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No. Tahun 2000, merupakan pasal-pasal yang berhubungan dengan ketentuan sistem pemidanaan, terutama Pasal 37, 39, dan Pasal 40 merupakan ketentuan perumusan tindak pidana dan sanksi pidana. Dari tindak pidana yang dirumuskan pada pasal-pasal undang-undang tersebut tidak ada ketegasan kualifikasi delik/tindak pidana, tetapi karena bobot sanksi pidananya penjara/kurungannya tidak besar, berdasarkan peranggapan seolah-olah jenis kualifikasi tindak pidananya tergolong pelanggaran. Tetapi jika dilihat ketentuan sanksi pidana Pasal 37 ayat (1 dan 2) bobot sanksi pidana badan berupa penjara 2 tahun jika tindak pidana terbukti dilakukan dengan sengaja. Dengan tidak dicantumkannya kualifikasi tindak pidana secara tegas dalam suatu perundang-undangan akan membawa konsekuensi yuridis dalam sistem pemidanaan, karena berkaiatan dengan penentuan pertanggungjawaban terhadap straf modus dan sanksinya.
Walaupun pada undang-undang induk dari Perda Pajak dan Retribusi Daerah ini tidak menegaskan kualifikasi delik pada system pemidanaannya, tetapi implementasi penentuan kualifikasi delik pada pembentukan Perda Pajak dan Retribusi Daerah selalu menegaskan sebagai pelanggaran.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa penyebutan kualifikasi delik (sebagai kejahatan atau pelanggaran), bukan sekedar memberi nama melainkan merupakan penetapan kualifikasi yuridis yang mempunyai konsekuensi yuridis materiel maupun konsekuensi yuridis formil. Konsekuensai yuridis baik dari aspek yuridis materiel seperti dalam hal percobaan, penyertaan, pembantuan,dan lainnya sebagaimana terdapat dalam ketentuan Buku I Bab I - VIII KUHP, maupun dari aspek yuridis formal dalam hal proses peradilannya.
b. Kelemahan dalam merumuskan subjek tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-undang No. 34 Tahun 2000 menentukan subjek pajak dan retribusi daerah seperti yang tercantum dalam Pasal 1 huruf (h) adalah orang pribadi dan badan sebagai mana dimaksud Pasal 1 huruf (g), yaitu sekumpulan orang dan/atau modal yang melakukan usaha atau tidak melakukan usaha meliputi, PT, Perseroan Komanditer, BUMN, BUMD dan korporasi lainnya. Ketentuan itu dijadikan patokan sebagai wajib pajak sebagaimana ditentukan Pasal 1 huruf i dan huruf (ee) wajib pajak dan wajib retribusi daerah tersebut adalah orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf g.
Formulasi hukum pidana dalam Pasal 37, 39, dan 40 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ini, tidak ada menentukan bagaimana aturan pelaksaannya tentang siapa yang dapat dituntut dan kapan atau dalam hal bagaimana korporasi dan badan usaha lainnya dikatakan telah melakukan tindak pidana, dalam rangka untuk dapat menerapan ketentuan sanksi pidana terhadap wajib pajak dan retribusi daerah berupa korporasi atau badan usaha lainnya tersebut. Jika pembentuk undang-undang berpandangan aturan pelaksanaanya mengacu kepada ketentuan Pasal 59 KUHP, maka korporasi tidak mungkin dapat dituntut karena pertangungjawaban kesalahan tersebut ada kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu sendiri.
c. Kelemahan dalam perumusan sanksi pidana
Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 hanya mencantumkan pidana pokok berupa penjara/kurungan dan denda yang dirumuskan secara kumulatif-alternatif seperti ditentukan Pasal 37 ayat (1), dan ada pula yang dirumuskan secara alternative seperti dalam Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 40. Karena undang-undang ini termasuk dalam lingkup hukum adminstrasi seyogyanya juga mengintegrasikan sanksi administrasi kedalam sanksi pidana, karena sangat penting untuk diterapkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana perpajakan daerah. Pembuat undang-undang tetap memisahkan sanksi administrative dengan sanksi pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, sebenarnya sanksi administrative itu bisa saja dioperasionalkan/difungsikan melalui hukum pidana, sehingga dikenal istilah hukum pidana administrative, yaitu hukum pidana di bidang pelanggaran-peanggaran hukum administrasi. Kelemahan lainnya dalam ketentuan undang-undang ini, karena juga tidak mengatur bagaimana jika sanksi pidana denda yang tidak diindahkan oleh korporasi akan menemui kesulitan untuk penerapan hukumnya. Jika pembentuk undang-undang beranggapan dapat digunakan ketentuan Pasal 39 KUHP terhadap denda yang tidak dibayar korporasi adalah merupakan hal yang tidak mungkin, karena ketentuan Pasal 39 KUHP yang mengatur tentang dapat dikenakan pidana kurungan pengganti 6 bulan atau maksimal 8 bulan hanya ditujukan kepada orang sebagai subjek tindak pidana dan tidak mungkin dapat diterapkan kepada korporasi dan badan usaha lainnya sebagai subjek hokum.
Di sisi lain Undang-Undang No.18 tahun 1997 jo Undang-Undang No.34 tahun 2000, penentuan sanksi pidana dalam Pasal 37, 39, terdapat disparitas yang jauh antara perumusan bobot sanksi pidana penjara/kurungan dengan denda yang dirumuskan secara alternative, hal ini terlihat dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2), yaitu karena kealpaan tidak menyampaikan SPPD dipidana kurungan maksimal 1 tahun bobotnya disetarakan dengan pidana denda maksimal 2 kali jumlah pajak terutang. Jika karena kesengajaan tidak menyampaikan SPPD dipidana penjara maksimal 2 tahun yang bobotnya disetarakan dengan denda 4 kali pajak terutang. Disparitas kebijakan perumusan sanksi pidana terhadap tindak pidana tentang Pajak yang diatur Pasal 37 dengan tindak pidana Retribusi yang diatur Pasal 39 terlihat sangat tidak relevan. Pasal 39 menentukan jika tidak membayar retribusi dapat dipidana kurungan maksimal 6 bulan disetarakan secara alternative bobotnya dengan denda maksimal 4 kali jumlah retribusi terutang, jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan (2). Kesenjangan kebijakan formulasi sanksi yang demikian sangat tidak proporsional dan dapat menimbulkan ketidak adilan untuk diaplikasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar